Saturday, April 28, 2012

Ria, Pos Satpam

=================================== Disclaimer =====================================
Cerita pendek ini hanya fiksi belaka, apabila ada persamaan cerita dan tokoh dalam kisah nyata mungkin hanya kebetulan belaka.
=================================================================================


"Namaku Ria, pekerjaan sales, hidup sebatang kara di kerasnya Jakarta demi menafkahi adik-adikku. Hidupku jauh dari kata bahagia"

Nyiiiiit... Nyiiiit..... Nyiiiit....

Suara berisik nan menyesakkan telinga terdengar berulang-ulang, tanpa henti, selama kipas kumal dengan debu setebal 0.5 cm masih berputar. Bunyi berisik seakan memperlihatkan perjuangan kipas angin sampai titik darah penghabisan. Udara pengap begitu terasa walaupun kipas angin telah menunjukkan batas kemampuannya, diperparah dengan ventilasi minim tanpa jendela.

Aku memang seharusnya membeli kipas angin yang baru. Kondisi keuangan yang tidak memungkinkanlah yang mengakibatkan aku masih terjerumus di petakan pengap, lembab dan lusuh ini dengan ditemani kipas yang sudah diujung tanduk. Pekerjaanku sebagai sales di perusahaan sabun tidak bisa membuat aku dapat hidup lebih baik lagi di Jakarta. Terkadang aku kehabisan uang dan harus berhutang dengan ibu Romiah, pemilik warteg yang berada persis di depan gang kosku. Kepada Beliau lah aku bersandar hidup di akhir bulan.

Dengan uang seadanya, tidak ada namanya makan 'lebih baik' di awal bulan. Aku selalu berusaha sehemat mungkin setiap harinya. Setiap rupiah aku hitung secara detail agar aku tidak kelaparan setiap bulan. Tabunganku nyaris tidak ada, pernah aku menabung untuk membeli kipas angin yang baru, tapi penyakit tifus yang menyerang tanpa diundang membuat segalanya buyar. Bonus tahunanku yang tak seberapa pun ludes untuk membiayai pengobatan penyakitku. Belas kasihan dari teman-temanku lah aku masih bisa bertahan hidup hingga sekarang.

Petakan persegi 2 x 2 meter ini, sebenarnya sudah tidak layak untuk ditinggali. Namun dengan gaji yang sedikit di atas UMR saja, tak ada lagi petakan yang bisa aku bayar, aku masih punya kewajiban mengirimkan sebagian uang untuk adik-adikku yang bersekolah di kampung halaman. Aku tidak mau adik-adikku putus sekolah seperti yang aku alami ketika kedua orang tua kami meninggal akibat kecelakaan. Kami hidup sebatang kara, hidup dari belas kasihan tetangga. Kecelakaan itu begitu memilukan, sudah tidak ingin aku kenang lagi. Kini, adik-adikku aku titipkan di rumah pamanku, setiap bulan aku kirimkan uang untuk mereka.

Sebagai seorang sales, aku selalu berkeliling menawarkan produk perusahaanku. Dari kompleks ke kompleks aku bergerilya menghindari satpam kompleks. Segala kamuflase aku lakukan untuk mengelabui bapak berbaju putih biru ini, terkadang aku berkenalan dengan pria berseragam di beberapa kompleks agar aku bisa leluasa masuk ke kompleks tersebut. Sebotol Teh Botol Sosro atau kecupan di bibir terkadang aku berikan demi mendapatkan izin berjualan di teritori tersebut. Tak jarang, aku juga memberikan kehormatanku untuk pria berseragam yang menarik perhatianku sekaligus melampiaskan nafsu birahi-ku yang sudah kepalang tanggung.

Walaupun hidup tak karuan, aku masih diberkahi wajah yang cukup enak dilihat dan nyaman di hati. Dengan tubuh yang cukup langsing mungkin akibat kekurangan makanan, aku masih bisa memikat pria-pria berseragam di kompleks elit. Namun, tak semua pria bisa tidur bersamaku.

Hari ini, jadwal kunjunganku di salah satu perumahan elit di Jakarta Barat. Aku tak sabar lagi bertemu dengan Pak Joko, satpam kompleks itu. Pak Joko memiliki dua anak, di usia-nya di akhir 30-an, dia masi berperawakan tegap, berkulit kuning langsat dengan kumis dan jenggot yang tipis membuat aku selalu menunggu kunjunganku tiap awal bulan ke kompleks tersebut, hatiku selalu berbunga-bunga. Tentu saja, Pak Joko juga selalu menanti kunjunganku setiap bulan, sengaja kami tak bertukar nomor telepon agar selalu ada kejutan di setiap kunjunganku. Rindu yang terakumulasi setiap bulannya kami lampiaskan setelah Pak Joko ganti shift giliran jaga. 

Kadang terpikir olehku, kenapa aku tidak menjual diri untuk mendapatkan tambahan uang. Toh, aku juga melakukan maksiat, hubungan di luar nikah atas dasar nafsu belaka. Tapi, ingatan kedua adikku di kampung, membuat aku mengenyahkan keinginanku tersebut. Aku ingin memberikan makan kepada adik-adikku dari uang yang halal, dan aku ingin melakukan hubungan sex tanpa iming-iming uang, tanpa dibayar dan partner-ku tidak perlu membayarku. Suka sama suka. Aku tak pernah ingin memikirkan keluarga mereka.

Aku menjajakan produk dari pintu ke pintu, menawarkan produk kepada ibu rumah tangga ataupun kepada pembantunya yang entah tertarik dengan daganganku atau karena kasihan melihat aku datang setiap bulannya dalam keadaan lusuh. Tapi aku tak peduli, yang terpenting aku bisa makan setiap bulannya.

Tiba di kompleks, segera aku menuju ke pos satpam yang biasanya selalu terbuka untukku. Terbayang olehku kecupan manis dari bibir Pak Joko dengan kumis tipis yang memberikan sensasi berbeda dibandingkan dengan orang lain. Aku pun langsung bergegas masuk ke pos satpam dengan menggendong tas jualanku. Tapi hari ini mungkin bukan hari keberuntunganku, Pak Joko tidak bertugas hari ini. Sesosok pria tidak aku kenal, umurnya kira-kira di pertengahan 40-an, berperawakan sedang, berkulit sawo matang, dengan sorot mata tajam melihatku. Aku tersontak!

"Hey, siapa kau? Mau apa kau kesini?" dengan logat Batak yang kental, ah dia bukan tipe pria yang aku sukai.

"Maaf pak, Pak Joko-nya ada? Apa dia sudah ganti shift? ", aku bertanya.

"Pak Joko sudah tak bertugas lagi lah disini, sudah di mutasi dia ke kompleks yang lain, kau ada keperluan apa nyari-nyari pak Joko?", lanjutnya.

"Saya temannya pak, sudah lama tidak bertemu pak Joko, bisa minta alamat kompleks baru itu, atau nomor telepon pak Joko? Apa Pak Joko meninggalkan pesan untuk saya?", sudah saatnya aku mengetahui nomor telepon pak Joko geramku.

"Pak Joko itu sekarang sudah di....", dia terdiam sebentar, melihatku dengan seksama, ah mungkin dia juga suka denganku pikirku. Tiba-tiba dia berteriak. "Hey, kau bawa apa?! Kau mau jualan tanpa izin disini? Sini aku periksa tas kau, sales dilarang masuk kompleks sini! Pak Joko dimutasi karena laporan dari warga sini, dia sering masukin sales ke area ini, ah ternyata kau lah penyebabnya! Tak dapat kau elak lagi, kau sudah tertangkap basah, aku tangkap kau?!"

Dunia terasa terhenti, jantungku mungkin berhenti berdetak selama beberapa detik. Terpikir olehku, bila aku ditangkap, bagaimana nasibnya adik-adikku di kampung yang menunggu uang kiriman dariku setiap bulan? Siapa yang akan memberikan mereka makan lagi? Keringatku bercucuran, mataku tak bisa lagi berkedip. Aku ketahuan! Dan karena kesalahnku Pak Joko kehilangan pekerjaannya. Aku merasa berdosa!

"Sini kau, aku mau bikin laporan sama bos-ku, mantap kali aku ini, belom seminggu sudah dapat cecunguk yang meresahkan kompleks ini, awas kalo kau lari, aku kejar kau!"

Aku bergidik, masa depanku, masa depan adik-adikku. Kurungan jeruji besi yang mungkin lebih baik kondisinya dibandingkan petakan kos-ku, makanan yang lebih baik dan teratur bakalan tersedia buatku. Tapi siapa yang akan memberikan makanan kepada adik-adikku?! Aku terhenyak...

"Pak Togar, kenapa ini ribut-ribut? Loh teman saya kenapa diperlakukan kayak pencuri, dia tamu saya, lepaskan dia, saya sudah menunggu dia dari beberapa jam yang lalu"

Tangan itu langsung menggandengku, menarikku tanpa persetujuan Pak Togar, aku menurut saja, walaupun sebenarnya aku tidak kenal siapa pahlawanku hari ini. Aku dibawa ke rumahnya, rumah paling mungil di kompleks ini, bersih dan asri. Aku disuruh duduk di ruang tamu, baru kali ini aku masuk ke rumah sebagus ini. Biasanya aku mentok di depan pagar menawarkan produkku. Aku ingat, aku sering menawarkan produk disini, Mbok Iyem selalu membeli beberapa produkku setiap bulannya, tapi siapakah orang ini? Entahlah. Aku masih terkagum-kagum menikmati indahnya rumah ini. Gaya minimalis dengan dominan warna putih dan hitam menambah elegan rumah ini. Semua furniture terbaru dengan warna senada menambah indahnya rumah ini. 

"Silahkan diminum teh manisnya, Mbok Iyem sedang menyiapkan makanan di dapur, kamu pasti lapar setelah berjalan seharian, mungkin 15 menit lagi makanannya akan siap disantap. Mbok Iyem masak sayur asem hari ini, kesukaan saya", suara itu membuyarkan lamunanku, saking kagumnya dengan rumah ini aku tidak menyadari dia telah duduk disampingku.

"Kenapa kamu melihat seperti itu? Rumah saya berantakan yah?"

"Bukan saya masih terkagum-kagum, rumah ini indah sekali, belum pernah saya memasuki rumah seindah ini, ini pertama kali buat saya, saya tidak bisa berhenti berdecak kagum", imbuhku.

"Kamu berlebihan, rumah ini paling jelek dibandingkan rumah-rumah lain disini, maklum saya hanya sanggup membeli rumah yang paling kecil di kompleks ini", aku tahu dia berkata jujur.

"Tapi, kenapa tadi saya dibantu? Padahal Anda tidak kenal dengan saya. Saya hampir ditangkap oleh satpam tadi, dan saya belum mengucapkan terima kasih", betapa bodoh dan tidak tahu dirinya aku, aku lupa mengucapkan terima kasih, aku masih shock setelah kejadian tadi. Aku bahkan tidak kenal siapa orang ini.

"Siapa bilang saya tidak kenal kamu? Kamu kan yang setiap bulan menawarkan produk, Mbok Iyem selalu membeli barang dari kamu, saya selalu memperhatikan setiap kamu datang. Oh iya, Pak Joko, sudah tidak disini lagi. Dia di mutasi ke kompleks yang lain. Pak Joko sudah cerita semuanya dengan saya tentang kamu". Apa?! Semua aib-ku telah disebarkan kepada orang yang tidak aku kenal ini?! Apa Pak Joko juga menceritakan segala macam perbuatan tidak senonoh kami kepada pria ini?

Pria ini? Yah aku masih belum tahu siapa namanya. Kami masih belum berkenalan. Pria muda, dengan badan proporsional dengan otot-otot menyembul di antara kaosnya, sungguh pemandangan yang indah. Kira-kira berusia 30, berkulit eksotik yang kutebak sebagai hasil tanning secara berkala. Sungguh, keindahan duniawi yang biasanya hanya dapat aku mimpikan.

"Oh iya, nama saya Yudi. Saya terharu mendengar ceritanya tentang kamu. Bagaimana kamu bekerja untuk menafkahi adik-adikmu. Saya salut dengan kegigihan kamu mencari uang. To the point saja, saya tertarik padamu, makanya tiap bulan Mbok Iyem selalu saya kasih daftar produk yang harus dia beli dari kamu", ingatanku berputar, aku masih ingat rumah favoritku di kompleks ini. Mbok Iyem memang selalu berbelanja banyak dan selalu tertarik pada segala macam promo yang sedang aku tawarkan.

"Saya tau apa yang terjadi antara kamu dengan Pak Joko, saya tidak peduli. Saya ingin menawarkan kamu tinggal bersama saya, sebagai pendamping hidup saya. Saya kesepian.", tambahnya.

Apa?! Hari ini hari kesialan serta keberuntunganku? Ditawari oleh seorang pria yang merupakan keindahan duniawi yang pernah aku lihat secara langsung untuk tinggal bersamanya? Bagaimana aku bisa menolaknya? Tapi apa pantas aku menerimanya? Bagaimana dengan nasib adik-adikku?

"Tapi saya tidak pantas mendampingi Pak Yudi dengan kerjaan saya seperti ini, saya juga masih harus menafkahi adik-adik saya"

"Soal masa lalu kamu, kamu tidak usah pikirkan, saya sudah mempertimbangkannya. Tapi kamu harus janji, kamu harus tinggalkan masa lalu kamu. Kamu cukup tinggal disini dan mendampingi saya. Masalah adikmu, aku tentu menjadi tanggunganku juga, kamu tidak usah khawatir."

"Tapi..." Aku terdiam...

"Apalagi yang kamu pikirkan? Bersediakan kamu mendampingi aku sampai akhir hidupku?"

Otakku pun segera berpikir apa yang harus ku jawab. Terbayang olehku betapa hinanya aku. Namun hatiku tak bisa menolak sosok sempurna yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Apalagi dia telah menawariku menjadi pendamping hidupnya. Tak ayal, hatiku tentu berkata iya. Gejolak pikiranku tidak bisa menahan apa yang ingin aku teriakkan. Antara sadar dan tidak aku berkata dengan pasti :
"Tentu saja Pak Yudi". Aku tersipu malu.

"Cukup Yudi saja, Aku Cinta Kamu, Ria"


"Namuku Ria, pekerjaanku sekarang sebagai pendamping hidup Pak Yudi, keindahan dunia yang nyata adanya, dan kini aku bahagia. Nama lengkapku Zakaria."

No comments: