Monday, December 28, 2009

Nonton-nonton di bulan Desember

Wah bulan Desember... bulan penuh liburan, para produser film pun tak mau kalah untuk mempublikasikan film teranyar dibulan Desember. Namun ironis, bulan Desember itu bulan sibuk-sibuknya anak kuliahan perguruan tinggi swasta menghadapi tugas akhir dan ujian akhir semester. Beruntung UAS semester ini tidak terlalu padat jadwal ujianny tetapi cukup merepotkan. Walaupun dengan jadwal padat, tetap nonton itu hukumnya wajib, nongkrong di XXI ato blitz sebuah keharusan yang tidak boleh diganggu gugat setiap minggunya.

Beruntung ditengah ketegangan dan stress ujian, Dee and cs, pergi menonton..
alhasil nonton bulan Desember dimulai. Dan film pertama di bulan Desember diawali dengan Avatar di fX pukul 21.30 dikursi depan, wooow! seru kayak nonton 3D, hahaha
Film berdurasi 2.5 jam tersebut menawarkan keindahan tiada tara, penonton ditawarkan produk nan kreatif dan sempurna yang membuat semua orang akan terpana melihat keapikan film Avatar dari awal hingga akhir... Semua orang terkesima dengan Dunia Pandora. Sungguh kreatif dengan menampilkan monyet biru aneh berekor aneh yang memiliki sejuta fungsi, film ini akan menarik perhatian dari awal hingga akhir. Film yang wajib ditonton. Dee ampe nonton 2x dan tetap mau nonton lagi film berdurasi 2.5jam ini

Film kedua yang ditonton adalah Sang Pemimpi, cerita rakyat Melayu Belitong, yang mengejar mimpi dari yang tidak mungkin menjadi sesuatu yang nyata adanya. Dari kehidupan melarat, mengejar mimpi menjadi orang yang sukses. Film yang menjual mimpi, mengajak orang untuk Bermimpi. Sungguh inspiratif. Ikal dan Arai diceritakan dengan detail. Namun sangat disayangkan, sedikit berbeda alur cerita dari novel tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi. Beberapa scene film berbeda dengan novelnya. Overall, film ini layak untuk ditonton, film Indonesia yang patut dibanggakan karena sangat inspiratif. Lucu, sedih, persahabatan, kisah cinta, semuanya jadi satu dalam film berdurasi 2jam ini. Tapi amat disayangkan, film ini beredar berbarengan dengan Avatar, genre film yang berbeda, namun Sang Pemimpi akan lebih banyak pengunjungnya bila ditayangkan di awal Desember. Menurut penilaian Dee sih begitu :D

Next, Alvin and Chipmunks 2, film yang bikin tertawa dari awal hingga akhir film, dengan menampilkan tupai-tupai imut dan lucu, sangat menarik. Dengan alur cerita sederhana dan mudah dicerna, film ini sangat menghibur. *Setidaknya buat Dee*. Theodore dan Eleanor walaupun jarang muncul di frame selalu menjadi pusat perhatian dengan tingkah lucu dan wajah yang imut. Menyihir semua penonton selama 1.5 jam. Film ini wajib tonton.

Next, Dee menunggu salah satu idola dari kecil, Sherlock Holmes, udah midnite sih, akan tayang minggu ini, ga sabar untuk menonton. Selamat Menonton!

Monday, December 21, 2009

Artis bukan Kopaja

Peluru ditembakkan ke udara. Asbak melayang. Dan sekarang, sebaris sumpah serapah di Twitter.

Relasi media hiburan dengan komoditas tunggalnya—yakni para penghibur, atau yang lebih sering disebut “artis”—adalah hubungan yang berwarna-warni. Kadang-kadang keduanya menempel manis bagai semut yang memeluk gula, tapi kadang-kadang keduanya saling sengit bagai kucing dan anjing.

Dan kini, dalam mangkok besar industri hiburan, kita pun punya apa yang disebut: infotainment—hadir dalam bentuk program teve yang laku ditonton dan diproduksi dengan biaya tak besar. Berbeda dengan sinetron yang menuntut puluhan kru serta puluhan pemain dengan honor yang tak kecil, infotainment melenggang ringan dengan satu-dua kamera, dua-tiga kru, dan segenggam mikrofon yang ditodongkan ke para artis yang tak dibayar* untuk membuka ruang privat kehidupan mereka. Simbiosa? Sudah pasti. Saling membutuhkan? Tidak setiap saat. Saling menguntungkan? Belum tentu.

Berikut beberapa anggapan umum, yang saking mapannya bersarang di benak masyarakat, sudah jarang kita pertanyakan atau cek kebenarannya, antara lain:

1. “Media hiburan dan artis saling membutuhkan.”

Bagi saya, kalimat itu terdengar manis dan bijak tapi juga menjebak dan menjerat. Menjebak hingga artis dipaksa untuk melonggarkan bahkan merobohkan garis privasi di luar keinginannya, dan menjerat masyarakat untuk terus mewajarkan tindakan-tindakan intimidatif infotainment dengan alasan “itu kan risiko jadi orang terkenal.”

Agar karya saya menggaung di masyarakat luas, saya membutuhkan media sebagai amplifier-nya, termasuk media hiburan (meski ada juga karya yang jadi besar dan laris bahkan sebelum media sempat menyentuhnya). Namun tidak semua jenis pemberitaan mendukung karya ataupun pamor saya. Bahkan ada pemberitaan yang mengganggu hidup saya. Bukan “saling membutuhkan” namanya jika saya menolak diliput dan malah terus dikuntit, rumah saya ditongkrongi dan dimata-matai. Bukan “saling membutuhkan” namanya jika kalimat saya diputar-balikkan untuk memenuhi opini subjektif tertentu melalui gambar dan narasi yang lantas dibagi ke jutaan pemirsa. Dalam situasi seperti itu, saya menolak keras generalisasi bahwa artis selalu membutuhkan media hiburan.

Media dan seorang artis hanya layak disebut saling membutuhkan jika memang keduanya sedang merasa ada kebutuhan, yang artinya: situasional. Tidak terus-menerus dan berubah-ubah.

2. “Hubungan antara artis dan infotainment bersifat mutualisme.”

Mengatakan, atau mengharapkan, bahwa hubungan antara artis dan infotainment selalu bersimbiosa mutualisme, menurut saya, adalah pernyataan yang buta. Simbiosa yang terjadi di lapangan bisa beragam:

• Mutualisme : Saat si artis mengizinkan dengan sukarela untuk si infotainment masuk ke dalam ruang privatnya, dari mulai meliput bisnis sampingan, meliput ulang tahun anak, bahkan untuk membantu posisi tawarnya dalam industri. Infotainment pun kadang sengaja dilibatkan ketika si artis hendak memenangkan sebuah konflik. Dalam relasi ini, kedua pihak sama-sama diuntungkan.

• Komensalisme : Dengan izin atau tanpa izin, disengaja atau tidak, infotainment mewawancarai artis dan diladeni secara netral-netral saja. Misalnya, untuk memberi komentar ringan, atau meminta klarifikasi atas berita-berita remeh (baca: bukan skandal). Dalam pengamatan saya, relasi macam inilah yang paling banyak terjadi; si artis bisa berjalan lalu sambil berkata “Ah. Biasalah, infotainment,” dan si reporter bisa permisi pergi dengan muka lurus tanpa harus mengejar dan mencecar. Dalam jenis relasi ini, artis tidak merasa diuntungkan, tapi juga tidak merasa dirugikan.

• Parasitisme : Ketika si artis tidak memberikan persetujuan, kerelaan, atau keinginan untuk meladeni infotainment, tapi terus didesak, dipaksa, bahkan diintimidasi. Dan kemudian berita tetap ditayangkan dengan memakai perspektif satu pihak saja. Dalam pengemasannya, beberapa infotainment bahkan sampai melakukan teknik wawancara imajiner, pemalsuan suara, memutar balik kejadian sebenarnya, dan cara-cara lain yang sudah menjurus ke arah fitnah.** Dalam relasi ini, jelas yang diuntungkan hanyalah pihak infotainment, sementara pihak artis dirugikan, bahkan dicurangi.

Terbius dalam rumusan ideal bahwa relasi artis-media hiburan harusnya selalu saling menguntungkan terlepas fakta lapangannya seperti apa, mengakibatkan kita—sebagai masyarakat—cenderung permisif. Dan, sebagai artis, kita cenderung memilih diam.

3. “Kalau beritanya aib pasti artisnya menghindar, kalau berita baik infotainment-nya dibaik-baikin.”

Lagi-lagi, buat saya itu adalah opini yang malas dan tak jeli. Tak sedikit area yang disebut “baik-baik” oleh banyak orang, tapi bagi beberapa artis tertentu merupakan ruang privat yang tidak ingin dibagi ke infotainment, seperti kelahiran anak, acara pernikahan, dst. Dan banyak juga konflik/isu berbau skandal yang secara sengaja justru melibatkan infotainment atas undangan/persetujuan/kerelaan artisnya. Jadi, fakta di lapangan lagi-lagi tidak mendukung opini umum tersebut. Setiap artis punya preferensi dan garis batasnya masing-masing.

4. “Seorang figur publik wajib membuka dirinya terhadap publik karena ia sudah jadi milik publik.”

Sewaktu kecil, saya tidak pernah bercita-cita jadi figur publik. Yang saya ingat, saya ingin jadi penulis dan musisi profesional. Itu saja. Saat saya berkarya, saya mempertanggungjawabkannya dengan cara-cara yang sederhana: menjamin bahwa karya saya asli dan mencintainya sepenuh hati.

Namun karya dan citra melangkah seiring sejalan ketika sudah masuk ke dalam industri. Di sana, karya menjadi besar, citra pun ikut membesar, dan saya yang manusia biasa kadang-kadang tenggelam oleh keduanya. “Figur publik” akhirnya menjadi efek samping yang mengiringi profesi artis, walaupun berkarya dan terkenal sebetulnya adalah dua hal yang berbeda.

Sialnya, pengertian “figur publik” selalu ditempelkan dengan konotasi “milik publik”. Kita amat sering terpeleset dengan menganggap keduanya identik, padahal secara esensi keduanya berbeda. Dalil itulah yang kemudian digunakan infotainment untuk menuntut artis buka mulut. Sering sekali mereka mengatasnamakan “masyarakat” dengan mengatakan “Masyarakat berhak untuk tahu!”

Bagi saya, yang menjadi milik publik adalah karya saya. Masyarakat bisa membeli buku saya, CD album saya, mengundang saya untuk diskusi buku dalam kapasitas saya sebagai penulis, atau mengundang saya bernyanyi dalam kapasitas saya sebagai penyanyi. Namun saya punya hak penuh atas kehidupan pribadi saya. Hidup saya bukan milik publik. Adalah hak saya sepenuhnya untuk menentukan seberapa banyak potongan kehidupan pribadi yang ingin saya bagi dan mana saja yang ingin saya simpan.

Artis adalah manusia yang berkarya. Bukan telepon umum.

5. “Seorang artis harus selalu bertutur laku baik dan sopan.”

Ini barangkali anggapan umum yang paling naif tentang artis. Pertama-tama, bukan hanya artis, seorang tukang becak pun dituntut untuk bertutur laku baik dan sopan pada penumpangnya. Ketika sudah hidup bermasyarakat, sikap baik dan sopan melancarkan interaksi kita dengan satu sama lain. Namun kita juga manusia yang punya dua sisi. Kita pun bisa marah dan kehilangan kendali. Lantas apa yang membedakan Luna Maya dengan Mang Jeje—tukang becak langganan saya di Bandung?

Sebuah pepatah bijak berkata: “Semakin tinggi pohon, semakin keras angin menerpa.” Saya setuju. Tapi tidak berarti bahwa seseorang yang dianggap bintang lantas di-dehumanisasi-kan. Menuntut seorang bintang untuk selalu sempurna, bukan saja berarti penyangkalan atas kemanusiawian, tapi juga mustahil bisa dipenuhi. Jadi, jika kesempurnaan adalah kemustahilan, mengapa sebagian dari kita begitu sulit berempati?

Seorang Luna Maya, yang sudah minta pengertian secara baik-baik, tapi malah terus didesak hingga kamera membentur kepala anak yang sedang ia gendong, lantas meledakkan emosinya di Twitter—sebegitu irasionalkah tindakannya itu? Atau justru manusiawi? Apa yang kira-kira akan kita lakukan jika kita menjadi Luna? Tetap bermanis-manis hanya karena status artisnya, hanya karena konon ia “milik publik”? Sekali lagi, seingat saya, Luna adalah model dan presenter. Bukan Kopaja. Apa hak kita untuk mengklaim agar Luna bertutur laku sebagaimana keinginan kita? Kita bisa menyimpan fotonya, menyimpan RBT lagu Luna di telepon genggam kita, tapi kita tidak bisa mengontrol manusianya seperti kita mengoperasikan AC dan remote-nya.

6. “Tanpa media, artis tidak akan jadi siapa-siapa.”

Ini barangkali sihir terkuat yang merasuk di kalangan artis. Kita tahu, betapa besar peran media dalam perkembangan karier seorang artis—entah itu karier musik, sinetron, film, model, dsb. Tapi, mari kita lihat skala yang sesungguhnya: Media bukan cuma satu. Media hiburan merupakan salah satu bagian, bukan keseluruhan. Infotainment juga cuma sebagian dari media hiburan, bukan keseluruhan.

Infotainment memang powerful. Terbukti ada orang-orang yang disulap dari bukan siapa-siapa dan tahu-tahu menjadi artis papan atas setelah diekspos habis-habisan di infotainment. Dan ada juga artis yang hidupnya ditelanjangi habis-habisan sampai harus menghilang bertahun-tahun dari panggung hiburan.

Tapi, jangan kita balik logikanya. Saya tidak melihat infotainment dan artis seperti logika ayam dan telur. Apalagi kalau infotainment disebut sebagai “induk” dari eksistensi seorang artis. Infotainment adalah fenomena yang muncul tahun ’90-an, sementara saya tumbuh besar menyaksikan artis-artis yang mampu eksis berdasarkan bakat dan karyanya jauh sebelum ada infotainment. Dan jangan kita lupa, tanpa artis, infotainment hanya corong kosong tanpa isi. Corong itu boleh nyaring. Tapi kalau tidak ada yang disuarakan, ia pun senyap dan hampa.

-dee-

Saturday, December 19, 2009

Hilangnya kebebasan berpendapat karena Teman-Teman Wartawan

Kasus yang lagi heboh antara Luna Maya dan PWI, mengguncang dunia maya. Wartawan yang dari dulu menuntut kebebasan untuk berpendapat, kebebasan untuk membuat berita sekarang malah mengekang artis, dan masyarakat luas untuk bebas berpendapat di network community. Para networker, blogger, twitter, facebooker, dan network community lainnya seperti terpasung karena kebebasan menulis hanya untuk kalangan media saja. Buktinya sekarang Luna Maya dituntut karena kebebasan dirinya untuk berpendapat di Twitter. Sedangkan kalangan media bebas menulis apa saja tentang Public Figure. What the hell?! Sungguh ironis.. Jadi setuju apa yang dikatakan oleh Luna Maya mengenai wartawan infotaiment! hahaha..

Dituntut gara-gara menulis begini?? apa bedanya ama kasus Prita?! Kalian telah memasung orang untuk berpendapat! Toh Luna Maya cuma share di Twitter dia, untuk orang yang setuju untuk mem-follow dia, artinya orang-orang tertentu saja. Kasus yang sama dengan contoh berbeda. Intinya mereka bebas berpendapat! Dee ga mem-follow Luna Maya, so ga masalah buat orang yang ga follow. Salah sendiri mem-follow, its your risk. Saat ini, harus ada janji secara tak tertulis, bila kalian mem-follow orang, artinya kalian setuju apa yang ditulis, dan tidak boleh mengganggu gugat! Begitu juga kalo kalian membaca sampai selesai, artinya kalian juga setuju untuk membaca.

Happy Reading. Go Blogger!


Wartawan teriak-teriak mengenai etika publikasi dan lain-lain, seharusnya mereka menyadari, tuntutan mereka itu tidaklah beralasan, toh ini bukan public space.. Memang twitter itu bebas oleh semua orang, tapi hanya untuk orang yang mem-follow account tersebut, kalau tidak suka yah silahkan unfollow saja, tidak usah repot untuk menanggapi pernyataan dirinya di twitter, karena anda sendiri yang memutuskan untuk membaca entri tersebut. Its your risk!

Public Space= layar tancep, Public Access : bioskop. Enter at ur own risk. 4 me Twitter= public access, masuk bioskop= follow #etikatwiter
In Twitter, PUBLIC SPACE is not same with PUBLIC ACCESS, u can follow BAD PEOPLE at your own risk, but don't judge them #twitterethics

Now, untuk twitteran dan yang mem -follow harus beretika! Jangan seperti wartawan yang ego-nya terlalu tinggi, kita harus jadi orang intelek, dan bisa menganalisa bukan saja membaca. Kemunduran media saat ini, kalian mengejar dan merukan privasi orang lain, bahkan merusak hidup orang lain, sekarang karena sebuah pernyataan pedas terhadap wartawan, wartawan merasa dilecehkan. Pernahkah kalian berpikir artis2 juga merasa dilecehkan gara2 kalian? hidup mereka tak tenang bila terjerat masalah, malah diperumit dengan paparazi wannabe! fuuuh.. ironis banget! Wartawan mengutarakan kata-kata pedas terhadap public figure, merusak citra public figur, apa diseujui oleh public figure? I think not..

Buat public figure yang menyatakan wartawan pada kasus ini tidak salah, kalian MUNA banget sih! Lama kelamaan kalian ga akan punya privasi! Gara-gara wartawan sering menang vs artis dibeberapa pengadilan sebelumnya, wartawan makin sombong, angkuh, mengganggap mereka paling berjasa atas kepopuleran seorang public figure, mereka yang memberi job pada public figure! Padahal tanpa public figur, apa jadinya?? kalian harus ingat hubungan kalian simbiosis mutualisme, bukan artis saja yang diuntungkan oleh kalian, tapi kalian juga diuntungkan oleh artis. Jangan angkuh dan sombong, menganggap kalian pada benar! Kaca dirumah kurang gede apa???