Semenjak manusia diciptakan Tuhan (lebih tepatnya semenjak ibu hawa mendampingi ayah Adam), manusia memang ditakdirkan untuk memiliki kebutuhan biologis. Pemenuhan kebutuhan biologis itu sendiri telah diatur Tuhan, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan layaknya binatang. Sayang, kenyataannya tidak seindah itu. Kebutuhan biologis ternyata dapat diperdagangkan, untuk memenuhi kebutuhan dasar lain yang lebih penting yaitu pangan, sandang dan papan. Memperdagangkan kebutuhan biologis dianggap sebagai sebuah dosa besar. Tapi apakah benar begitu ?
Memang tidak semua wanita maupun pria memperdagangkan kebutuhan biologis (melacur) demi mempertahankan hidup, ada juga yang melacur demi mengejar kekayaan atau materi itu sendiri. Semuanya beralasan terdesak atau ‘didesak’ oleh keadaan. Saya harap anda dapat membedakan kata terdesak dan ‘didesak’. Ya, yang membedakan adalah faktor kesengajaan dan niat.
Permisalan keadaan terdesak adalah sebagai berikut. Tuti seorang anak dengan tiga orang tanggungan hidup, yaitu seorang ibu dan 2 orang adik. Suatu ketika, ibu Tuti jatuh sakit dan setelah didiagnosis ternyata kondisinya membutuhkan perawatan lebih dan kemungkinan diperlukan operasi. Ibu Tuti sehari-hari bekerja sebagai penjaja makanan keliling yang tidak memiliki cukup dana untuk membiayai penyakitnya, serta beban hidup bagi ketiga anaknya. Setelah Tuti berusaha kesana kemari untuk memperoleh pinjaman, dan hasilnya tidak akan mencukupi biaya pengobatan Ibunya, maka Tuti memutuskan untuk menjual keperawanannya dan melacur. Tuti melakukan itu semua demi menyelamatkan nyawa ibu dan kelangsungan hidup dua orang adiknya. Saya sepakat, bahwa permisalan ini adalah sebuah kondisi dimana seorang Tuti terdesak.oleh keadaan.
Permisalan keadaan didesak adalah sebagai berikut. Anne adalah seorang anak yang duduk di bangku sekolah menengah. Anne hidup di dua lingkungan yang berbeda. Anne berasal dari lingkungan masyarakat dan keluarga yang pas-pasan (bisa makan sehari sekali saja sudah syukur). Sedangkan Anne belajar di lingkungan sekolah yang elite, yang kebanyakan berasal dari kalangan kelas atas dan ‘berotak’. Tidak dipungkiri, Anne berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda strata sosial-ekonominya. Dari pandangan riil kehidupan sehari-hari, maka lambat laun hal itu beralih kepada pandangan hidup. Anne pun tidak sanggup menerima ‘kemiskinan’ yang membelenggu dirinya. Demi mensejajarkan diri, dalam hal cara pandang dan gaya hidup seperti teman-temannya, maka Anne menjual keperawanan dan melacurkan dirinya. Pada kondisi ini, saya sepakat bahwa Anne didesak oleh keadaaan. Pernyataan ‘didesak’ menyiratkan bahwa sebetulnya ada pilihan bagi Anne untuk memilih jalan hidupnya. Dan Anne memilih untuk melacur.
Sejujurnya, tulisan ini diinspirasi oleh Metropolis Cover Story di Jawa Pos sebanyak 2 seri back to back pada 18 dan 19 Mei 2008. Dalam rubrik tersebut, dideskripsikan fenomena tentang grey chicken atau lebih dikenal sebagai pelacur pelajar. Pada seri pertama dijelaskan tentang pelacur yang didesak keadaan. Sedangkan pada seri kedua dijelaskan tentang pelacur yang terdesak oleh keadaan. Saya sendiri sebetulnya emoh membedakan makna didesak dan terdesak. Hal itu karena bedanya ukuran saya dengan orang lain, bahkan dengan Tuhan mengenai standard kata ‘desak’. Dalam dua seri back to back tersebut, keduanya membuat hati saya benar-benar terbelah dua. Pada seri pertama saya benar-benar dibuat jengkel, sedangkan pada seri kedua saya benar-benar dibuat trenyuh (tapi tetep jengkel juga sih ?).
Pada seri pertama, dijelaskan bahwa mereka melacurkan diri hanya sebatas untuk bisa mengikuti gaya hidup sinetron dengan handphone dan laptop. Bila perlu, mereka secepatnya berambisi untuk membeli mobil dan rumah mewah. Dan itu bisa dilakukan, seri kedua membuktikan itu ! Bahkan dalam ‘operasional’ bisnisnya mereka juga tidak segan-segan menipu pelanggan dengan berbagai trick agar bisa dibilang ‘perawan’. Jadi kasarnya, mereka yang mengaku pelacur pelajar ini sebetulnya adalah perawan jadi-jadian. Ada yang keperawanannya direnggut pacar sendiri, ada juga yang benar-benar direnggut oleh si hidung belang.
Pada seri kedua, dijelaskan bahwa salah seorang legenda pelacur pelajar menyatakan telah ‘berhenti’ dan hanya memberikan service khusus kepada beberapa langganannya yang exclusive. Alasannya sebagai balas budi, karena hidung belang exclusive itulah yang bisa membuatnya hidup ‘enak’ sekarang. Si legenda ini, alasannya melacur bolehlah saya bilang ke dalam kategori terdesak. Maklum, ketika melacurkan diri dia mengalami kejadian yang cukup mengejutkan. Dan secara otomatis membuat keluarganya tidak memiliki penghasilan apapun untuk menghidupi beban hidup keluarga. Selanjutnya, diceritakan kejadian-kejadian yang cukup memberi kita pengertian tentang sisi lain dunia si legenda. Satu hal yang cukup membuat saya jengkel kepada dia adalah ucapan yang menyatakan bahwa dia ‘senang’ dengan kehidupannya sekarang, dan rela jadi ‘bekas’ orang jelek-jelek daripada bekas orang baik-baik.
Tapi … ya sudahlah …
Jujur saja, saya kadang merasa pilu kenapa banyak orang menyadari dan melakukan suatu kejahatan, tapi tidak mengakui kejahatannya. Saya ini penggemar bokep dan komik porno, jika saya ditanya tentang “Apakah kamu merasa salah dan bersalah atas kegiatan yang kamu lakukan ?”, maka jawaban saya cukup singkat, “YA!”. Andaikata saya seorang pelacur, saya setuju bahwa saya bersalah, tapi saya tidak akan merasa bangga dengan mengatakan, “Itu bagian dari jalan hidup saya. Lagipula saya tidak akan bisa hidup enak kalau tidak melakukan pekerjaan itu. Lebih baik jadi bekas orang jelek-jelek daripada bekas orang baik-baik.”
Ah … dunia ini memang kompleks … dan di dalamnya kebenaran dan kejahatan adalah seperti dua sisi mata uang. Sulit bagi saya untuk menjustifikasi orang lain apalagi diri saya sendiri. Sebab, nilai kebenaran hakiki hanya Tuhan yang tahu, rahasia kehidupan, janji surga dan ancaman neraka adalah hal-hal ‘kuno’ yang tidak konkrit dan tidak memiliki wujud nyata, semuanya imajiner. Agaknya, slogan mau untung besar maka korbannya juga harus besar, itu benar adanya. Sekalipun pengorbanan itu agaknya menyakiti jiwa dan keyakinan kita akan kebenaran sejati … yang terkucil di pojok hati.
Belum cukup sampai di situ, banyak ketakutan lain yang harus dihadapi dalam menjalani hidup ini. Jujur saja saya takut dengan arah pikir dan cara pandang kita yang didominasi oleh nilai-nilai materi yang positivistik dan maskulin. Terbukti sudah, bahwa gaya pikir anak-anak muda zaman sekarang adalah gaya pikir yang sangat pragmatis (keseharian), instant, dan cenderung mengacuhkan nilai-nilai moral. Saya tidak pernah menyatakan bahwa bersikap rasional itu buruk, malah dalam era digital sekarang sikap rasional dan logis akan mengantarkan manusia pada kesuksesan. Tapi sukses itu sendiri apa ? Buat saya, sukses itu adalah ketenteraman bathin yang tidak melupakan ketenteraman lahir. Jadi, bagi saya nilai-nilai moral dan sikap rasional dibutuhkan secara seimbang, komplementer, dan bukan bersifat saling substitutif secara mendominasi.
Pola pikir yang ‘ajaib’ terutama dalam kasus-kasus pelacuran akan terus berkembang, dengan ‘paket’ yang kian hari kian inovativ. Bukan hanya untuk menangguk keuntungan dari penjualan penis dan vagina semata, namun juga untuk mensahihkan eksistensi mereka sebagai bagian dari lingkup sosial-ekonomi-budaya di belahan dunia manapun. Fenomena itu terbukti benar, dan kian hari kian menguat. Mereka yang bergerak di bidang pelacuran ini bahkan telah merenggut banyak keperawanan gadis-gadis di bawah umur. Saya tak peduli lagi dengan alasan, mengapa mereka me;acur ? tokh mereka juga berpikir EGP kepada saya. Tapi saya juga berhak menuntut tempat kepada mereka …
Saya paham bahwa perawan bukan hanya soal selaput dara !!! Perawan adalah soal yang kompleks terutama dalam domain ke-tradisi-an di negeri ini. Oke !!! Saya harus mengaku bahwa saya termasuk ke dalam kalangan tradisionalis itu, walaupun juga bisa dibilang menjalani proses metamorfosis ke arah progresiv thinking. Oke, selaput dara sobek ! Tapi disebabkan oleh apa ? Apakah disetubuhi (diperkosa) ? Atau menjual diri ? Apakah dilakukan dengan niat suka-sama-suka ? Atau keterpaksaan ? Jujur saja, saya belum bisa menerima seorang gadis yang telah kehilangan keperawanan karena bersetubuh dengan laki-laki lain. Saya tidak pernah berharap mendapatkan gadis semacam itu sebagai istri.
Terkadang saya mencoba berpikir sebijaksana mungkin untuk menanyakan masalah ini kepada diri saya sendiri. Saya ingin sesekali memikirkan ini, untuk meredam emosi saya jika akhirnya diketahui bahwa istri saya memang punya sejarah ‘kelam’. Saya mencoba berpikir bijaksana, antara harga diri saya sebagai lelaki yang dapat barang ‘bekas’, dengan nilai-nilai komitmen dalam sebuah pernikahan. Semua itu karena pernikahan bukan hanya soal seks semata, namun lembar baru ‘kehidupan bersama’ sampai mati. Yang di dalamnya sebuah keluarga akan bertumbuh bersama baik dari sisi kuantitas juga kualitas. Kasarnya, saya ingin punya istri yang bisa saya sayang dan saya bina menjadi manusia yang lebih baik daripada sebelum waktu menikah. Begitu juga harapan istri saya kepada saya. Saya akan berjuang menjadi lelaki yang lebih baik bagi istri dan anak-anak saya.
Namun, kini sebagai lelaki normal yang mampu membaca perkembangan prostitusi dan pergaulan remaja zaman sekarang, hati saya jadi gundah. Saya jadi punya pikiran ‘jangan-jangan’ … Jangan-jangan calon istri saya tidak perawan ? Jangan-jangan saya dapat ‘barang bekas’ ? Jangan-jangan calon istri saya masih akan ‘giat’ bersetubuh dengan lelaki lain ? Jangan-jangan saya tidak mencintai calon istri saya dan hanya menginginkan tubuhnya, sama halnya dengan lelaki hidung belang ?! Jangan-jangan saya memang hidung belang ? Jangan-jangan …
No comments:
Post a Comment