Pelestarian Lingkungan. Mendengar tema ini, apa yang di pikiran anda?
Hemat Listrik, Hemat Air, Hemat Plastik, Daur Ulang Sampah, Efisiensi Pemanfaatan Energi dll.
Pelestarian dapat dilakukan oleh siapa saja, dimulai dari diri pribadi, kapan saja dan dimana saja. Semua tergantung oleh kepedulian kita masing-masing. Tidak seorang pun sebenarnya berhak 'mengatur' Anda bila Anda belum peduli dengan lingkungan, bumi yang kita tempati sekarang.
Kemajuan teknologi memang sebenarnya tak sejalan dengan pelestarian lingkungan. Dengan teknologi yang makin maju, kebutuhan masyarakat yang makin besar, lingkungan pun menjadi 'korban'. Selalu, kapanpun dimanapun lingkungan lah yang jadi 'korban' kemajuan teknologi. Sebenarnya kenapa hutan kita semakin gundul? Lahan hijau susah sulit terlihat?
- Ledakan jumlah penduduk, dengan jumlah penduduk yang semakin banyak, kebutuhan akan tempat tinggal pun akan semakin besar. Semua penduduk membutuhkan tempat tinggal yang menjadi kebutuhan pokok.
- Dengan lonjakkan penduduk yang tak terkendali, sampah yang dihasilkan pun tak bisa terelakkan juga akan semakin banyak. Sampah yang tak dapat didaur ulang juga semakin bertambah dan menumpuk, tak terurai dan tidak ditemukan solusi pemecahan untuk memanfaatkan sampah yang telah dihasilkan.
- Perkantoran, Mall, Pertokoan, Kompleks tempat tinggal merupakan salah satu faktor utama hilangnya lahan hijau di sekitar kita. Penduduk yang besar perlu tempat tinggal, perlu pekerjaan, perlu tempat hiburan, perlu tempat bersantai. Para pengusaha melihat peluang ini, walaupun sekarang para developer berlomba lomba memakai 'tag line' green building, tapi efek hilangnya lahan hijau juga tak akan terelakkan. Sejauh pemanfaatannya untuk kebutuhan orang banyak dan memang tak terelakkan lagi kalau penduduk membutuhkan public space yang lebih luas lagi.
-Perkebunan Sawit. Hutan-hutan bakau, perkebunan kelapa semua dibabat habis untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Loh? kan perkebunan, tetap ada lahan hijau-nya. *Mungkin sebagian dari Anda berpikiran demikian apalagi ada beberapa pihak yang meng-klaim Perkebunan kelapa sawit tidak merusak lingkungan, tidak lebih merusak dibandingkan orang yang menjadikannya sebagai mall, kompleks atau pertokoan*.
Perkebunan Kelapa Sawit yang menjamur dan mengekspansi di Sumatera dan Kalimantan merupakan salah satu faktor terbesar perusakan lingkungan di Indonesia. Tapi apa yang didapatkan oleh penduduk lokal? Nothing..
Pengusaha kelapa sawit dengan serakah membeli tanah dengan politik adu-domba dan 'kepolosan' penduduk lokal. Dengan di iming-imingi penghasilan yang 'lebih' dibandingkan perkebunan kepala, panen lebih cepat semua pun berpindah membuka lahan perkebunan kepala sawit setelah diberikan modal untuk 'mengganti' perkebunan lama mereka menjadi kelapa sawit. Ekspansi berlanjut ke hutan-hutan bakau hijau menjulang, dibabat dari yang masih muda hingga pohon yang telah berusia puluhan tahun. Tak heran kabut asap sering terjadi karena lahan gambut 'dibersihkan' dengan cara dibakar.
Masih teringat musim kemarau datang, ketika saya masih kelas 2-6 SD asap kiriman tak akan terelakkan selama 2bulan. Bila hujan tak kunjung turun, niscaya asap akan terus menjadi polutan di udara yang terhirup. Bunyi gergaji, dan dentuman pohon yang ditebang menjadi musik yang menemani kampung saya yang sunyi. Perlahan pohon kelapa mulai tergantikan dengan pohon-pohon kelapa sawit. Bila Anda masih merasa akibat penanaman kelapa dan kelapa sawit sama saja, silahkan tanya ke ahli perkebunan, pecinta lingkungan. Apa akibat dari perkebunan kelapa sawit :)
Sekarang, semua orang, perusahaan, dan yayasan berbondong-bondong mengklaim telah melakukan pelestarian lingkungan. Begitu juga Yayasan Buddha Tzu Chi, Pelestarian Lingkungan merupakan salah satudari 8 misi. Saya maybe bergabung dengan Tzu Chi sejak tahun 2009, tapi sebelum disini saya telah berniat mengemban misi sosial dan lingkungan sejak SMP. Aktif untuk membantu dan berorganisasi dengan tema 'sosial' dan lingkungan. Sebenarnya keterlibatan saya disini 'just ordinary', saya tidak berharap lebih dari apa yang telah saya lakukan.
Apapun yang saya dapat disini sama halnya dengan pengembangan diri saya dalam menjalankan hidup sesuai dengan kepercayaan saya. Tak ada hal yang baru, tapi disini merupakan salah satu wadah berkumpulnya orang-orang yang memiliki tujuan yang 'hampir' sama, tapi tak sepenuhnya sama, setiap manusia punya ego masing-masing, punya kepentingan masing-masing. Tagline sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, pelestarian lingkungan mungkin sudah tak asing lagi disini. Satu hal yang selalu menjadi ironi disini adalah SPONSOR utama.
Perusahaan Sinarmas merupakan donatur utama di Yayasan Tzu Chi Indonesia. Mengapa saya mengatakan ini sebagai ironi? Sinarmas merupakan salah satu perusahaan yang mengganti hutan hijau menjadi perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan, tak terhitung luas area kelapa sawit dibawah naungan Sinarmas. Tak terhitung pula pohon yang selalu ditebang untuk kepentingan perusahan. Mereka berhasil meyakinkan para relawan bahwa perkebunan kelapa sawit tidak lebih merusak dibandingkan kegiatan perusakan alam yang lain. But, tidak untuk saya, sebagai orang yang tumbuh dan berkembang melihat hutan dirusak, saya tak akan terpengaruh. Perkebunan bekas kelapa sawit akan menjadi tanah tandus, keras dan tidak akan menjadi daerah serapan air, tanah perkebunan kelapa sawit juga bukan merupakan daerah resapan air, kalo ga percaya silahkan survey sendiri bagaimana dam yang dibuat untuk menahan air agar tidak mengenangi daerah perkebunan :)
Ironi memang, sebagai sponsor atau yang mensupport pelestarian lingkungan, mereka juga sebagai perusak lingkungan. Tapi tak bisa disalahkan sepenuhnya, begitulah perusahaan perlu mendapatkan keuntungan. Tanpa sponsor utama sebuah yayasan juga tak akan bisa bergerak sebagaimana mestinya. Jujur penanaman pohon baru yang dilakukan tidak sebanding dengan apa yang telah dirusak. :).
Sampai saat ini, saya tidak akan berdiri di barisan terdepan Tzu Chi selama kepentingan tertentu masih dilindungi oleh pihak - pihak tertentu yang berkepentingan. Kampanye-kampanye rancu yang membuat sesuatu menjadi 'blur'. Mari kita fokus benar-benar untuk melestarikan lingkungan, menyelamatkan bumi, menolakn perkebunan yang merusak lingkungan. I hope someday, Tzu Chi Indonesia bisa terlepas sponsor dari Sinarmas. Berdiri tegak paling terdepan untuk memerangi perusakan lingkungan.
Mungkin tulisan ini terlalu frontal, what's next? I just NATO? At least, i write this for inform something that you don't know. Saya bukan siapa-siapa dibandingkan mereka yang telah berbuat banyak dimanapun juga. Tapi sebagai orang yang berprinsip, inilah pilihan saya. Maybe ada yang beranggapan artikel ini bermaksud berpropoganda menyerang Sinarmas? Tak ada salahnya kok Anda berpikiran seperti itu, Anda yang punya pikiran, Anda berhak berpikir apa saja :) Inilah susahnya menjadi orang open-minded bukan? Kita tidak boleh membatasi siapapun juga :)
Sebenarnya tidak hanya menyerang Sinarmas, tapi contoh disini kita bisa lihat sebagai IRONI, disini kasus yang benar-benar saya tahu, saya menjadi salah satu orang yang melihatnya, tumbuh disekitar dan terlibat menjadi salah satu relawan. Kenapa saya menulis seperti ini, karena beberapa bulan yang lalu saya terkejut mendengar bahwa
"Perkebunan Kelapa Sawit tidak Merusak Lingkungan". Ingin rasanya saya langsung berteriak, You're LIAR! Tapi sebagai orang yang bertata krama, mempraktekkan budaya humanis, tak boleh men-judge. Just be open minded :)
Dee ~ an Indonesian who wants to tell strories about life, book, travelling, cooking, food, photography, economy, politic, movie and love. Just read my story, hope you will like it. Let's begin and enjoy! ;)
Thursday, May 26, 2011
Thursday, May 5, 2011
Suku Duano - "Menongkah" Surfing Lumpur
Concong merupakan kampung halaman tercinta, dengan berbagai sumber daya yang berlimpah namun teknologi yang terbatas. Hidup dekat dengan alam, bersahabat dengan alam dan tidak merusak alam. Tak ada kendaraan bermotor yang merusak segarnya udara, hutan hijau, langit biru dan angin laut menjadi santapan setiap hari.
Desa Concong Luar, mungkin sebagian orang belum pernah mendengarnya. Tak akan terlihat di peta sama sekali, satu desa di kecamatan Concong Kabutapen Indragiri Hilir, Riau. Sebagai gambaran, dari Jakarta ada 3rute untuk mencapai daerah Concong Luar.
- Opsi Pertama via Pekanbaru, Jakarta-Pekanbaru by plane, dari Pekanbaru dilanjutkan dengan perjalanan darat kurang lebih 7jam menuju ke Tembilahan. Dari Tembilahan naik Speed Boat dari pelabuhan di dekat Masjid Al huda setiap jam 1 siang dengan waktu tempuh 1.5-2jam.
- Opsi Kedua via Batam, Jakarta-Batam by plane, dari Batam dilanjutkan dengan naik Speed Boat sekitar 5-6jam langsung ke Concong di hari-hari tertentu saja. Seminggu ada 4 boat yang langsung ke Concong. (Rute ini baru dibuka di tahun 2011). Sebelumnya yah harus naik ferry ke Tembilahan dan dilanjutkan dengan naik boat.
- Opsi Ketiga via Jambi, Jakarta-Jambi by plane, dari Jambi perjalanan darat ke Tembilahan 6jam kemudian dilanjutkan dengan naik boat di pelabuhan dekat Al-huda. Katakan saja mau ke Concong.
Sekian perkenalan tentang Concong, next perkenalan tentang suku Duano dan tradisi "menongkah" aka surfing lumpur.
Papan luncur atau “Tongkah” merayap di atas lumpur yang menyembul ketika laut surut. Saat itu pula, Imi (9) sang anak Duano, memiliki harapan bisa panen kerang dari ceruk dan lubang di lumpur itu.
IMI dan enam ribu jiwa warga Suku Duano (data terakhir Dinsos Inhil, red) lainnya yang termasuk dalam kategori Komunitas Adat Terpencil (KAT) senantiasa bergelut dengan laut, bibir sungai, lumpur dan beting, meski yang mereka lewati ini sebenarnya lebih berbau tradisional. Aroma berbeda ini semakin mencolok ketika harus dibandingkan dengan pola hidup masyarakat umum yang jauh dari amisnya bau lumpur.
Memang, di beberapa bagian masyarakat Duano, perkembangan mampu mengubah beberapa sendi kehidupan mereka. Namun secara umum, mereka tetap melakoni apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak ratusan tahun lalu hingga kini.
Apa yang dilakukan Imi di permukaan lumpur, pantai Desa Concong Luar, Kecamatan Concong, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, adalah aktivitas rutin. Gerakannya meliuk-liuk mirip sekali dengan pemain ski di hamparan salju.
Dengan lutut menempel pada punggung tongkah, tangan bocah ini terlihat begitu cekatan bergerak. Setiap lubang dan cekungan di pantai yang diyakininya sebagai lubang kerang, moluska yang tinggi gizi dan bernilai ekonomi, diobok-oboknya.
Tradisi inilah yang kemudian berkembang dan dikemas menjadi even budaya “Menongkah” yang rutin digelar Pemerintah Kabupaten Inhil dan sudah dikenal secara luas.
Ya, menongkah kerang rutin dilakukan Imi bersama dengan puluhan warga lain ketika air laut sedang surut. Biasanya pada musim pasang dalam dan pantai tidak dapat ditongkah, merupakan masa dimana kerang berkembang biak, hingga nanti setelah surut kembali fauna pantai itu pun menyembul.
Hasil menongkah kerang di pantai, selanjutnya dikumpulkan pada sebuah perahu kecil dan kemudian dibersihkan. Setelah itu dijual kepada penampung. Uangnya dipergunakan untuk membeli beras, dan jika berlebih ditabung sedikit untuk keperluan hidup lain. Ada juga di antara Suku Duano yang menjual sendiri hasil tangkapannya di Tembilahan, ibu kota Kabupaten Inhil, dengan cara memajangnya. Biasanya ini bisa ditemukan di Parit Sebelas, Tembilahan.
Ada juga kalangan Duano yang menjaring ikan dan memancing serta memasang bubu. Semua dilakukan secara sederhana. Tetapi untuk kalangan Duano yang bermukim di Desa Kuala Patah Parang, Kecamatan Reteh, kebanyakan telah mempergunakan perahu bermesin dan tingkat kehidupanya cukup baik.
Satu kemajuan yang sudah terlihat nyata sekarang pada Suku Duano adalah kebiasaan menetap di daratan. Berbeda ketika pada 1980-an lalu dimana suku tersebut lebih merasa nyaman hidup di atas perahu. Kini Imi, bersama dengan orangtuanya sudah tinggal di gubuk hasil bantuan dari Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Inhil.
Secara keseluruhan, Suku Duano yang terdapat di Kabupaten Inhil menyebar di beberapa kecamatan di pesisir seperti Tanah Merah, Reteh, Mandah, Kateman, Concong dan Kuindra. Tingkat pendidikannya rata-rata masih sekolah dasar, dan dari data sementara baru terdapat sekitar 10 orang yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang S1.
Terdapat satu orang yang telah menyelesaikan pendidikan S2, yakni Hasmawi, Sag. MM. dan saat ini menjadi PNS di lingkungan Pemkab Inhil. Tokoh-tokoh masyarakat Duano seperti Hasanuddin, Hasmawi, Ir. Sarpan Firmansyah sangat berharap perhatian yang serius dari Pemkab Inhil agar kehidupan suku tersebut dapat ditingkatkan.
”Lautan merupakan sumber penghidupan kami, tetapi sedihnya kemampuan ekonomi warga Duano saat ini sangat terbatas dan tingkat pendidikan masih rendah. Semuanya masih bersandar pada pola tradisional,” terang Hasanuddin, yang juga pengurus Keluarga Besar Duano Riau Cabang Inhil ini.
Di lain pihak, Pemerintah Kabupaten Inhil melalui Dinas Sosial tiap tahunnya tetap menyiapkan program yang sifatnya pemberdayaan. Bantuan tongkah dari bahan fiber yang kokoh dan kuat sudah diberikan. Demikian juga dengan alat tangkap nelayan seperti motor pompong telah dialokasikan.
Itu semua, menurut Kadis Sosial Drs. Mohd Zaini, MPd. sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Suku Duano. ”Selain itu kita juga berupaya membantu warga Duano yang putus sekolah dengan program pembinaan agar memiliki keahlian hingga dapat dipergunakan untuk mencari nafkah dan meningkatkan taraf hidupnya,” tegas Zaini.
Kini, tongkah fiber sudah di tangan masyarakat Suku Duano, dan dari alat yang meluncur di lumpur itulah diharapkan akan menghasilkan butiran-butiran beras agar mereka bisa bertahan hidup.
Sumber : www.riaupos.com, pengalaman hidup tinggal bersama mereka :)
Desa Concong Luar, mungkin sebagian orang belum pernah mendengarnya. Tak akan terlihat di peta sama sekali, satu desa di kecamatan Concong Kabutapen Indragiri Hilir, Riau. Sebagai gambaran, dari Jakarta ada 3rute untuk mencapai daerah Concong Luar.
- Opsi Pertama via Pekanbaru, Jakarta-Pekanbaru by plane, dari Pekanbaru dilanjutkan dengan perjalanan darat kurang lebih 7jam menuju ke Tembilahan. Dari Tembilahan naik Speed Boat dari pelabuhan di dekat Masjid Al huda setiap jam 1 siang dengan waktu tempuh 1.5-2jam.
- Opsi Kedua via Batam, Jakarta-Batam by plane, dari Batam dilanjutkan dengan naik Speed Boat sekitar 5-6jam langsung ke Concong di hari-hari tertentu saja. Seminggu ada 4 boat yang langsung ke Concong. (Rute ini baru dibuka di tahun 2011). Sebelumnya yah harus naik ferry ke Tembilahan dan dilanjutkan dengan naik boat.
- Opsi Ketiga via Jambi, Jakarta-Jambi by plane, dari Jambi perjalanan darat ke Tembilahan 6jam kemudian dilanjutkan dengan naik boat di pelabuhan dekat Al-huda. Katakan saja mau ke Concong.
Sekian perkenalan tentang Concong, next perkenalan tentang suku Duano dan tradisi "menongkah" aka surfing lumpur.
Papan luncur atau “Tongkah” merayap di atas lumpur yang menyembul ketika laut surut. Saat itu pula, Imi (9) sang anak Duano, memiliki harapan bisa panen kerang dari ceruk dan lubang di lumpur itu.
IMI dan enam ribu jiwa warga Suku Duano (data terakhir Dinsos Inhil, red) lainnya yang termasuk dalam kategori Komunitas Adat Terpencil (KAT) senantiasa bergelut dengan laut, bibir sungai, lumpur dan beting, meski yang mereka lewati ini sebenarnya lebih berbau tradisional. Aroma berbeda ini semakin mencolok ketika harus dibandingkan dengan pola hidup masyarakat umum yang jauh dari amisnya bau lumpur.
Memang, di beberapa bagian masyarakat Duano, perkembangan mampu mengubah beberapa sendi kehidupan mereka. Namun secara umum, mereka tetap melakoni apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak ratusan tahun lalu hingga kini.
Apa yang dilakukan Imi di permukaan lumpur, pantai Desa Concong Luar, Kecamatan Concong, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, adalah aktivitas rutin. Gerakannya meliuk-liuk mirip sekali dengan pemain ski di hamparan salju.
Dengan lutut menempel pada punggung tongkah, tangan bocah ini terlihat begitu cekatan bergerak. Setiap lubang dan cekungan di pantai yang diyakininya sebagai lubang kerang, moluska yang tinggi gizi dan bernilai ekonomi, diobok-oboknya.
Tradisi inilah yang kemudian berkembang dan dikemas menjadi even budaya “Menongkah” yang rutin digelar Pemerintah Kabupaten Inhil dan sudah dikenal secara luas.
Ya, menongkah kerang rutin dilakukan Imi bersama dengan puluhan warga lain ketika air laut sedang surut. Biasanya pada musim pasang dalam dan pantai tidak dapat ditongkah, merupakan masa dimana kerang berkembang biak, hingga nanti setelah surut kembali fauna pantai itu pun menyembul.
Hasil menongkah kerang di pantai, selanjutnya dikumpulkan pada sebuah perahu kecil dan kemudian dibersihkan. Setelah itu dijual kepada penampung. Uangnya dipergunakan untuk membeli beras, dan jika berlebih ditabung sedikit untuk keperluan hidup lain. Ada juga di antara Suku Duano yang menjual sendiri hasil tangkapannya di Tembilahan, ibu kota Kabupaten Inhil, dengan cara memajangnya. Biasanya ini bisa ditemukan di Parit Sebelas, Tembilahan.
Ada juga kalangan Duano yang menjaring ikan dan memancing serta memasang bubu. Semua dilakukan secara sederhana. Tetapi untuk kalangan Duano yang bermukim di Desa Kuala Patah Parang, Kecamatan Reteh, kebanyakan telah mempergunakan perahu bermesin dan tingkat kehidupanya cukup baik.
Satu kemajuan yang sudah terlihat nyata sekarang pada Suku Duano adalah kebiasaan menetap di daratan. Berbeda ketika pada 1980-an lalu dimana suku tersebut lebih merasa nyaman hidup di atas perahu. Kini Imi, bersama dengan orangtuanya sudah tinggal di gubuk hasil bantuan dari Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Inhil.
Secara keseluruhan, Suku Duano yang terdapat di Kabupaten Inhil menyebar di beberapa kecamatan di pesisir seperti Tanah Merah, Reteh, Mandah, Kateman, Concong dan Kuindra. Tingkat pendidikannya rata-rata masih sekolah dasar, dan dari data sementara baru terdapat sekitar 10 orang yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang S1.
Terdapat satu orang yang telah menyelesaikan pendidikan S2, yakni Hasmawi, Sag. MM. dan saat ini menjadi PNS di lingkungan Pemkab Inhil. Tokoh-tokoh masyarakat Duano seperti Hasanuddin, Hasmawi, Ir. Sarpan Firmansyah sangat berharap perhatian yang serius dari Pemkab Inhil agar kehidupan suku tersebut dapat ditingkatkan.
”Lautan merupakan sumber penghidupan kami, tetapi sedihnya kemampuan ekonomi warga Duano saat ini sangat terbatas dan tingkat pendidikan masih rendah. Semuanya masih bersandar pada pola tradisional,” terang Hasanuddin, yang juga pengurus Keluarga Besar Duano Riau Cabang Inhil ini.
Di lain pihak, Pemerintah Kabupaten Inhil melalui Dinas Sosial tiap tahunnya tetap menyiapkan program yang sifatnya pemberdayaan. Bantuan tongkah dari bahan fiber yang kokoh dan kuat sudah diberikan. Demikian juga dengan alat tangkap nelayan seperti motor pompong telah dialokasikan.
Itu semua, menurut Kadis Sosial Drs. Mohd Zaini, MPd. sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Suku Duano. ”Selain itu kita juga berupaya membantu warga Duano yang putus sekolah dengan program pembinaan agar memiliki keahlian hingga dapat dipergunakan untuk mencari nafkah dan meningkatkan taraf hidupnya,” tegas Zaini.
Kini, tongkah fiber sudah di tangan masyarakat Suku Duano, dan dari alat yang meluncur di lumpur itulah diharapkan akan menghasilkan butiran-butiran beras agar mereka bisa bertahan hidup.
Sumber : www.riaupos.com, pengalaman hidup tinggal bersama mereka :)
Subscribe to:
Posts (Atom)