Alkohol memang identik dengan perbuatan yang terlarang dan berhubungan dengan godaan dari iblis dan setan. Seperti lagu yang dinyanyikan oleh Oma Irama. Ternyata dari nama-nama bir di seluruh dunia banyak sekali yang diambil dari nama-nama yang berhubungan dengan iblis setan.
Belgia, yang merupakan negara yang terbanyak mempunyai merek-merek bir di dunia. dikenal sebagai land of beers, tapi bukan sebagai negara pengomsumsi bir terbanyak – saat ini masih dipegang oleh Jerman.
Duvel
Kata ini banyak yang mengira berasal dari bahasa Perancis, Duvelle. Tapi ternyata salah, Duvel sebenarnya berasal dari bahasa Flemish – yang berarti devil (iblis) dan dibaca “Doovul”. Didirikan tahun 1872 di Breendonk, sebelah utara kota Brussels oleh pabrik bir Moortgat, konon pada tahun 1923. Nama Duvel ini terungkap secara spontan oleh para pekerja pabrik bir sewaktu pertama kali mencicipinya, “This is a devil of beer”.
Sekarang Duvel menjadi salah satu merek bir terkenal di Belgia dan daratan Eropa lainnya. Kandungan kadar alkoholnya 8,5% dengan rasa strong golden ale dengan busa yang kental. Untuk meminum harus dalam keadaan dingin tanpa es batu dan memakai gelas khusus flared tulip. Disarankan untuk tidak dituang habis karena sisa kekeruhan birnya sangat kental sekali.
Lucifer
Bir ini menjadi saingan bagi Duvel, sama-sama bernama dari aliran sesat. Produksi dari pabrik bir Riva di Flanders, Belgia. Rasa Ale sangat kuat sekali, kadar alkoholnya 8%.
Blackened Voodo
Dimulai pada 1907 oleh pabrik bir Dixie – dari kota New Orleans – Lousiana. Bir ini ikon kota New Orleans – dengan tema berbau Halloween, sesuai dengan namanya Blackened Voodoo. Kadar alkoholnya 5%, cocok sekali sebagai minuman pendamping makanan khas New Orleans, Cajun. Pada tahun 1992 sempat dilarang beredar di Texas karena dianggap sebagai minuman iblis.
Black Magic
Bir dari Inggris dengan rasa bitter stour berkadar alkohol 4,5%.
Satan
Juga produksi Belgia, dibuat pabrik bir Block di Peizegem. Rasanya – red, gold and brown ale – dengan kadar alkohol 8%.
Dead Guy Ale
Dari namanya saja sudah menyeramkan. Berkadar alkohol 5%, bir ini baru dipopulerkan pada tahun 1988, dan mulai semakin terkenal dan sempat memenangkan beberapa kali penghargaan di Great American Beer Festival. Pabriknya di Oregon.
Old Nick
Dari lambangnya sudah mencerminkan bahwa bir ini juga berasal dari golongan para iblis. Berasal dari pabrik Young’s di bagian selatan kota London, dipoduksi sejak tahun 1831. Beraroma rasa anggur dengan kadar alkohol 7.25%.
Indiana Bones
Berasal dari pabrik bir Summerskills di South Devon, Inggris. Terasa malty-brew dengan kadar alkohol 4,5%.
Masih ada lagi nama-nama bir yang cukup menyeramkan seperti: Beast, berkadar alkohol 6.6% dan Gun Powder, berkadar alkohol 3,8%, dari Inggris; Granat, dari Czech & Slovakia; Rasputin Russian, berkadar alkohol 7,8%, dari Amerika; dan Devil’s Elbow dari Virgina, AS.
Jadi memang ternyata bir merupakan minumam para iblis dan setan. Terserah dengan Anda, apakah tetap terus untuk berbir-ria. (Tedjo Iskandar)
Dee ~ an Indonesian who wants to tell strories about life, book, travelling, cooking, food, photography, economy, politic, movie and love. Just read my story, hope you will like it. Let's begin and enjoy! ;)
Friday, September 4, 2009
Spirit Unveiled
Spirit menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia minuman beralkohol. Proses destilasi yang dilaluinya, membawa jenis minuman ini pada satu tingkatan di mana ia menjadi sangat terkenal dengan berbagai bentuk, dari bourbon hingga brandy. Penyajiannya pun juga bermacam-macam, sesuai dengan selera. Apa sih yang termasuk dalam spirit, dan mengapa mereka berbeda?
Spirits, not Spirit
Ya, dua kata dengan perbedaan satu huruf ini memiliki perbedaan arti yang sangat jauh. Sudah dapat dipastikan kita tidak akan membahas sedikit pun kata yang kedua tersebut. Dulu sekali saya pernah berkesimpulan bahwa spirits dan spiritus itu sama, tentunya saya amat bersyukur ketika mengetahui dua benda itu sama sekali tidak berhubungan erat. Sedikit demi sedikit saya mencari tahu lebih jauh tentang spirits dengan mencoba mengenalnya langsung.
Pada awal mulanya, saya hanya dapat mengidentifikasi bahwa spirits itu adalah minuman beralkohol tinggi, yang memerlukan proses destilasi atau penyulingan untuk itu. Tapi, kemudian batas itu menjadi rancu kembali karena keterbatasan pengetahuan saya. Apakah warna? Rasa? Bahan? Atau kandungan alkohol? Syukurlah ‘riset’ saya menjadi mentah kembali, karena setelahnya saya menemukan fakta-fakta yang sahih.
Sebenarnya kita dapat membagi golongan minuman beralkohol pada beberapa kategori, dua di antaranya adalah spirits dan liqueur. Nama liqueur mewakili sebuah golongan minuman berkadar alkohol tinggi dan dimbuhi campuran rasa, dan biasanya adalah rasa manis dengan berbagai aroma. Dengan begitu, spirits adalah golongan yang masih mengusung rasa asli plus syarat umumnya, yaitu kandungan alkohol paling tidak berkisar di angka 35% per volume.
Nah, melihat syarat ini, tentunya banyak sekali yang dapat dimasukkan ke dalam kategori spirits bukan? Sebutlah vodka, whisky, bourbon, brandy, tequilla, rum, hingga absinthe. Tentunya nama-nama tersebut memiliki karakter tersendiri, yang tentunya berkaitan erat dengan bahan baku yang digunakan untuk proses penyulingan. Gandum, beras, kentang, jagung, hingga tebu. Marilah kita melihat satu persatu lebih dekat.
Absinthe, not Abstain!
Kok abstain? Well, kata ini muncul tidak berapa lama setelah seorang teman saya menenggak dua gelas kecil absinthe. Yes, dia salah sebut nama minuman ini sehingga kami pun tertawa terbahak-bahak sesudahnya. Memang, di tangan yang salah, minuman ini dapat berakibat fatal karena kandungan alkohol dalam jumlah yang sangat fantastis di dalamnya. Setidaknya untuk saya, ini adalah minuman dengan kadar alkohol tertinggi! Tentu saja tidak disarankan untuk menenggaknya langsung begitu saja. Karena absinthe adalah minuman aperitif, maka tujuannya memang bukan untuk membuat mabuk orang yang meminumnya.
Absinthe adalah spirits dengan warna hijau tua bening dan memiliki rasa agak ‘pedas’. Tidak heran, karena minuman ini mengandung banyak sekali rempah-rempah. Sebutlah anise, wormwood, fennel, hingga nutmeg (pala) pun terdaftar pada bahan penyusunnya. Dengan tampilan yang cukup memikat dan terkesan jinak, ternyata absinthe menyimpan banyak kejutan. Entah mengapa, banyak sekali saya menemui komentar, “Kayak obat batuk ya?” pada orang yang baru pertama kali mengendus aromanya. Mungkin, walau saya sendiri tidak begitu setuju, dan bukan karena obat batuk yang saya gunakan biasanya dalam bentuk kaplet tentunya.
Angka yang menunjukkan kandungan alkohol pada label absinthe mungkin dapat membuat mata Anda terbelalak. Bagaimana tidak? Sanggupkah Anda menghadapi besaran 68% atau bahkan lebih? Tapi nanti dulu, minuman ini sebenarnya memiliki fungsi seperti sirup yang tidak manis, karena harus ditambahkan dengan air es 4-5 bagian lebih banyak, plus gula. Galaknya alkohol sebelum bercampur dengan air dan gula tadi kemudian berubah menjadi lembut, baik di hidung maupun di rongga mulut. Keunikan yang terlihat secara visual pun ada. Warna hijau tua transparan tadi akan berangsur menjadi putih susu seiring bercampurnya minuman ini dengan air.
Minuman asal Swiss dan kemudian populer di Perancis ini pernah dilarang beredar di daratan Eropa. Ditengarai berkaitan dengan efek memabukkan dan kejadian-kejadian dengan kekerasan yang terkait, minuman ini kemudian hilang dari peredaran selama puluhan tahun. Tentunya apabila kita berpikir sehat, penyalahgunaanlah yang menjadi sumber masalahnya, bukan bendanya. Lalu belakangan, absinthe diperbolehkan untuk beredar kembali dan secara cepat berbaur dengan minuman lainnya, dan bahkan cepat populer dengan ‘gayanya’ sendiri.
Seperti halnya tradisi fine dining, absinthe seakan tidak mau kalah dengan menghadirkan keunikannya sendiri pada absinthe spoon. Alat sederhana berbentuk sendok datar dan berlubang ini memiliki banyak variasi. Dari yang tanpa keistimewaan hingga ukiran dan bahan dari logam yang mahal. Fungsinya tetap sama, hanya saja gengsinya pastilah berbeda, karena belakangan sendok ini seringkali menjadi collectibles item. Mau mencoba? (Marchel/Appetite Journey, 2007)
Spirits, not Spirit
Ya, dua kata dengan perbedaan satu huruf ini memiliki perbedaan arti yang sangat jauh. Sudah dapat dipastikan kita tidak akan membahas sedikit pun kata yang kedua tersebut. Dulu sekali saya pernah berkesimpulan bahwa spirits dan spiritus itu sama, tentunya saya amat bersyukur ketika mengetahui dua benda itu sama sekali tidak berhubungan erat. Sedikit demi sedikit saya mencari tahu lebih jauh tentang spirits dengan mencoba mengenalnya langsung.
Pada awal mulanya, saya hanya dapat mengidentifikasi bahwa spirits itu adalah minuman beralkohol tinggi, yang memerlukan proses destilasi atau penyulingan untuk itu. Tapi, kemudian batas itu menjadi rancu kembali karena keterbatasan pengetahuan saya. Apakah warna? Rasa? Bahan? Atau kandungan alkohol? Syukurlah ‘riset’ saya menjadi mentah kembali, karena setelahnya saya menemukan fakta-fakta yang sahih.
Sebenarnya kita dapat membagi golongan minuman beralkohol pada beberapa kategori, dua di antaranya adalah spirits dan liqueur. Nama liqueur mewakili sebuah golongan minuman berkadar alkohol tinggi dan dimbuhi campuran rasa, dan biasanya adalah rasa manis dengan berbagai aroma. Dengan begitu, spirits adalah golongan yang masih mengusung rasa asli plus syarat umumnya, yaitu kandungan alkohol paling tidak berkisar di angka 35% per volume.
Nah, melihat syarat ini, tentunya banyak sekali yang dapat dimasukkan ke dalam kategori spirits bukan? Sebutlah vodka, whisky, bourbon, brandy, tequilla, rum, hingga absinthe. Tentunya nama-nama tersebut memiliki karakter tersendiri, yang tentunya berkaitan erat dengan bahan baku yang digunakan untuk proses penyulingan. Gandum, beras, kentang, jagung, hingga tebu. Marilah kita melihat satu persatu lebih dekat.
Absinthe, not Abstain!
Kok abstain? Well, kata ini muncul tidak berapa lama setelah seorang teman saya menenggak dua gelas kecil absinthe. Yes, dia salah sebut nama minuman ini sehingga kami pun tertawa terbahak-bahak sesudahnya. Memang, di tangan yang salah, minuman ini dapat berakibat fatal karena kandungan alkohol dalam jumlah yang sangat fantastis di dalamnya. Setidaknya untuk saya, ini adalah minuman dengan kadar alkohol tertinggi! Tentu saja tidak disarankan untuk menenggaknya langsung begitu saja. Karena absinthe adalah minuman aperitif, maka tujuannya memang bukan untuk membuat mabuk orang yang meminumnya.
Absinthe adalah spirits dengan warna hijau tua bening dan memiliki rasa agak ‘pedas’. Tidak heran, karena minuman ini mengandung banyak sekali rempah-rempah. Sebutlah anise, wormwood, fennel, hingga nutmeg (pala) pun terdaftar pada bahan penyusunnya. Dengan tampilan yang cukup memikat dan terkesan jinak, ternyata absinthe menyimpan banyak kejutan. Entah mengapa, banyak sekali saya menemui komentar, “Kayak obat batuk ya?” pada orang yang baru pertama kali mengendus aromanya. Mungkin, walau saya sendiri tidak begitu setuju, dan bukan karena obat batuk yang saya gunakan biasanya dalam bentuk kaplet tentunya.
Angka yang menunjukkan kandungan alkohol pada label absinthe mungkin dapat membuat mata Anda terbelalak. Bagaimana tidak? Sanggupkah Anda menghadapi besaran 68% atau bahkan lebih? Tapi nanti dulu, minuman ini sebenarnya memiliki fungsi seperti sirup yang tidak manis, karena harus ditambahkan dengan air es 4-5 bagian lebih banyak, plus gula. Galaknya alkohol sebelum bercampur dengan air dan gula tadi kemudian berubah menjadi lembut, baik di hidung maupun di rongga mulut. Keunikan yang terlihat secara visual pun ada. Warna hijau tua transparan tadi akan berangsur menjadi putih susu seiring bercampurnya minuman ini dengan air.
Minuman asal Swiss dan kemudian populer di Perancis ini pernah dilarang beredar di daratan Eropa. Ditengarai berkaitan dengan efek memabukkan dan kejadian-kejadian dengan kekerasan yang terkait, minuman ini kemudian hilang dari peredaran selama puluhan tahun. Tentunya apabila kita berpikir sehat, penyalahgunaanlah yang menjadi sumber masalahnya, bukan bendanya. Lalu belakangan, absinthe diperbolehkan untuk beredar kembali dan secara cepat berbaur dengan minuman lainnya, dan bahkan cepat populer dengan ‘gayanya’ sendiri.
Seperti halnya tradisi fine dining, absinthe seakan tidak mau kalah dengan menghadirkan keunikannya sendiri pada absinthe spoon. Alat sederhana berbentuk sendok datar dan berlubang ini memiliki banyak variasi. Dari yang tanpa keistimewaan hingga ukiran dan bahan dari logam yang mahal. Fungsinya tetap sama, hanya saja gengsinya pastilah berbeda, karena belakangan sendok ini seringkali menjadi collectibles item. Mau mencoba? (Marchel/Appetite Journey, 2007)
inner beauty
Cantik tidak melulu soal fisik. Ada yang lebih penting ketimbang penampilan lahiriah. Tapi mengapa perempuan Indonesia merasa kurang puas dengan tubuhnya?
Perempuan mana yang tidak ingin cantik, dan lelaki mana yang tidak ingin melihat perempuan cantik? Kloplah! Tidak heran kalau para wanita berlomba-lomba untuk mempercantik diri, baik itu dengan memilih busana yang menarik atau pun tata rias yang bisa memperindah penampilan. Termasuk memakai produk-produk yang masuk kategori health care, atau pun mengonsumsi berbagai makanan suplemen, misalnya.
Saya sempat heran ketika istri saya sangat fasih menyebut berbagai istilah-istilah, yang kadang-kadang mirip dengan istilah kedokteran. Ekstrak bengkuang, sea minerals, pro vitamin B5, squalene oil, chamomile extract, repair Q enzyme Q10, dan seterusnya. Semua itu ternyata unsur-unsur dalam kosmetik dalam urusan kecantikan, mulai zat dari memutihkan kulit, ekstrak yang menghaluskan, melembutkan kulit, hingga elemen yang menghambat penuaan dini. Sama fasihnya ketika anak kami lahir dengan menyebut AHA, DHA, Omega 3, dan lain-lain, yang katanya adalah unsur-unsur yang harus ada dalam susu bayi.
Kita mencari informasi tentang berbagai hal untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Namun iklan di media rupanya mempunyai pengaruh yang lebih kuat, bahkan mendikte, apa sebaiknya yang kita konsumsi. Makanan apa yang menyehatkan, minuman yang menyegarkan, kosmetik apa yang bisa membuat cantik. Semuanya dengan janji-jani yang luar biasa. Ada shampo yang tidak hanya membersihkan rambut, tapi juga meluruskan. Sabun mandi tidak hanya membuat badan bersih, tapi mampu menjadikan secantik bintang film. Wow!
Cantik memang menjadi obsesi setiap perempuan. Saya mafhum ketika ada teman perempuan saya menyempatkan waktu untuk berlama-lama di salon. Tapi saya hanya bisa bengong, ketika teman perempuan yang lain membolos dari kantornya hanya karena punya janji dengan beauty therapist untuk melakukan facial treatment dengan menggunakan sinar laser agar kulit wajah mulus, padahal menurut saya wajahnya sudah mulus. So what gitu lho!
Katanya itu belum seberapa, karena kabarnya operasi plastik kini menjadi pilihan jalan pintas untuk menjadi cantik. Apalagi, ada contoh dalam tayangan TV asal AS yang kini ditayangkan di sini, The Swan. Program reality show itu menjaring peserta wanita yang tidak puas dengan dirinya. Dalam tiga bulan wanita-wanita yang berpenampilan biasa-biasa saja disulap menjadi manusia baru yang “lahir kembali”, bak model dengan tubuh ideal. Dengan para ahlinya, mereka dipermak secara mental, tapi terutama fisik. Lemak yang berlebihan di beberapa bagian tubuh disedot, kantung mata ditarik biar kencang, gigi dirapikan, bahkan hidup yang pesek bisa dipermak dengan operasi plastik.
Tidak banyak memang perempuan Indonesia yang mau “mempermak” tubunya habis-habisan. Paling tidak kalau dibandingkan dengan wanita-wanita negara tetangga di Asia, Jepang, misalnya, 39 persen wanitanya rata-rata sudah melakukan operasi plastik, Taiwan 40 persen, bahkan Korea Selatan 53 persen. Yang menyedihkan, kecantikan yang mereka idamkan, selain langsing dan berkulit putih, adalah hidung mancung, kelopak mata lebar, dan tulang pipi menonjol, yang nota bene seperti ras Kaukasia alias bule.
Untunglah, tidak semua perempuan Indonesia menilai bahwa kecantikan lahiriah saja yang harus diagung-agungkan. Dari survei baru-baru ini yang melibatkan 500 responden di sejumlah kota besar, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan, terungkap bahwa faktor batiniah ternyata lebih penting ketimbang kecantikan fisik semata.
Research International, sebuah lembaga penelitian independen, melakukan penelitian lebih dari 2.000 wanita Asia, termasuk Indonesia, juga menemukan fakta yang menggembirakan. Riset yang bertajuk “Kebenaran Sejati tentang Arti Kecantikan di Asia: Pandangan Wanita tentang Percaya Diri, Penampilan Tubuh, dan Penggambaran Media Massa” – yang pertanyaannya dirancang oleh Universitas Harvard, AS, bekerja sama dengan Dove, merek produk wanita –, menyimpulkan selain penampilan luar ada faktor lain yang lebih inner, yakni kehormatan, kebahagiaan, kepintaran, dan kebijaksanaan.
Yang menarik, perempuan Indonesia – fakta ini tidak ditemukan pada perempuan negara lain –, meletakkan aspek spiritual dan kepercayaan agama sebagai hal yang penting untuk merasa cantik. Ini jelas membanggakan. Seperti yang dikemukakan para pakar, bahwa inner beauty atau kecantikan dari dalam memang lebih penting bagi kaum Hawa. Cantik dengan penampilan fisik yang sempurna tapi tanpa tanpa sikap mental yang positif, pasti garing banget. Buat apa cantik kalau bloon? Ya nggak sih? Kata orang bijak, kecantikan sejati adalah perpaduan antara penampilan fisik dengan aura yang muncul dari dalam.
Itu sebabnya, Okky Asokawati menurut saya cantik meski hidungnya tidak mancung, karena memikili aura yang luar biasa. Tika Panggabean yang gemuk, Trie Utami yang mungil, Shanty yang berkulit gelap, adalah pribadi-pribadi yang memesona, karena mereka sangat pede dan merasa nyaman dengan segala yang mereka miliki, termasuk bentuk tubuhnya.
Ingin cantik memang manusiawi, tapi tidak pede dan selalu merasa kekurangan, jelas berlebihan. Dan celakanya, jutsru itulah yang kurang disadari kaum perempuan di Indonesia. Benarkah? Dalam penelitian di atas memang ditemukan bahwa hanya 1 persen wanita Indonesia yang merasa dirinya cantik. Apa boleh buat! (Burhanuddin Abe)
Perempuan mana yang tidak ingin cantik, dan lelaki mana yang tidak ingin melihat perempuan cantik? Kloplah! Tidak heran kalau para wanita berlomba-lomba untuk mempercantik diri, baik itu dengan memilih busana yang menarik atau pun tata rias yang bisa memperindah penampilan. Termasuk memakai produk-produk yang masuk kategori health care, atau pun mengonsumsi berbagai makanan suplemen, misalnya.
Saya sempat heran ketika istri saya sangat fasih menyebut berbagai istilah-istilah, yang kadang-kadang mirip dengan istilah kedokteran. Ekstrak bengkuang, sea minerals, pro vitamin B5, squalene oil, chamomile extract, repair Q enzyme Q10, dan seterusnya. Semua itu ternyata unsur-unsur dalam kosmetik dalam urusan kecantikan, mulai zat dari memutihkan kulit, ekstrak yang menghaluskan, melembutkan kulit, hingga elemen yang menghambat penuaan dini. Sama fasihnya ketika anak kami lahir dengan menyebut AHA, DHA, Omega 3, dan lain-lain, yang katanya adalah unsur-unsur yang harus ada dalam susu bayi.
Kita mencari informasi tentang berbagai hal untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Namun iklan di media rupanya mempunyai pengaruh yang lebih kuat, bahkan mendikte, apa sebaiknya yang kita konsumsi. Makanan apa yang menyehatkan, minuman yang menyegarkan, kosmetik apa yang bisa membuat cantik. Semuanya dengan janji-jani yang luar biasa. Ada shampo yang tidak hanya membersihkan rambut, tapi juga meluruskan. Sabun mandi tidak hanya membuat badan bersih, tapi mampu menjadikan secantik bintang film. Wow!
Cantik memang menjadi obsesi setiap perempuan. Saya mafhum ketika ada teman perempuan saya menyempatkan waktu untuk berlama-lama di salon. Tapi saya hanya bisa bengong, ketika teman perempuan yang lain membolos dari kantornya hanya karena punya janji dengan beauty therapist untuk melakukan facial treatment dengan menggunakan sinar laser agar kulit wajah mulus, padahal menurut saya wajahnya sudah mulus. So what gitu lho!
Katanya itu belum seberapa, karena kabarnya operasi plastik kini menjadi pilihan jalan pintas untuk menjadi cantik. Apalagi, ada contoh dalam tayangan TV asal AS yang kini ditayangkan di sini, The Swan. Program reality show itu menjaring peserta wanita yang tidak puas dengan dirinya. Dalam tiga bulan wanita-wanita yang berpenampilan biasa-biasa saja disulap menjadi manusia baru yang “lahir kembali”, bak model dengan tubuh ideal. Dengan para ahlinya, mereka dipermak secara mental, tapi terutama fisik. Lemak yang berlebihan di beberapa bagian tubuh disedot, kantung mata ditarik biar kencang, gigi dirapikan, bahkan hidup yang pesek bisa dipermak dengan operasi plastik.
Tidak banyak memang perempuan Indonesia yang mau “mempermak” tubunya habis-habisan. Paling tidak kalau dibandingkan dengan wanita-wanita negara tetangga di Asia, Jepang, misalnya, 39 persen wanitanya rata-rata sudah melakukan operasi plastik, Taiwan 40 persen, bahkan Korea Selatan 53 persen. Yang menyedihkan, kecantikan yang mereka idamkan, selain langsing dan berkulit putih, adalah hidung mancung, kelopak mata lebar, dan tulang pipi menonjol, yang nota bene seperti ras Kaukasia alias bule.
Untunglah, tidak semua perempuan Indonesia menilai bahwa kecantikan lahiriah saja yang harus diagung-agungkan. Dari survei baru-baru ini yang melibatkan 500 responden di sejumlah kota besar, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan, terungkap bahwa faktor batiniah ternyata lebih penting ketimbang kecantikan fisik semata.
Research International, sebuah lembaga penelitian independen, melakukan penelitian lebih dari 2.000 wanita Asia, termasuk Indonesia, juga menemukan fakta yang menggembirakan. Riset yang bertajuk “Kebenaran Sejati tentang Arti Kecantikan di Asia: Pandangan Wanita tentang Percaya Diri, Penampilan Tubuh, dan Penggambaran Media Massa” – yang pertanyaannya dirancang oleh Universitas Harvard, AS, bekerja sama dengan Dove, merek produk wanita –, menyimpulkan selain penampilan luar ada faktor lain yang lebih inner, yakni kehormatan, kebahagiaan, kepintaran, dan kebijaksanaan.
Yang menarik, perempuan Indonesia – fakta ini tidak ditemukan pada perempuan negara lain –, meletakkan aspek spiritual dan kepercayaan agama sebagai hal yang penting untuk merasa cantik. Ini jelas membanggakan. Seperti yang dikemukakan para pakar, bahwa inner beauty atau kecantikan dari dalam memang lebih penting bagi kaum Hawa. Cantik dengan penampilan fisik yang sempurna tapi tanpa tanpa sikap mental yang positif, pasti garing banget. Buat apa cantik kalau bloon? Ya nggak sih? Kata orang bijak, kecantikan sejati adalah perpaduan antara penampilan fisik dengan aura yang muncul dari dalam.
Itu sebabnya, Okky Asokawati menurut saya cantik meski hidungnya tidak mancung, karena memikili aura yang luar biasa. Tika Panggabean yang gemuk, Trie Utami yang mungil, Shanty yang berkulit gelap, adalah pribadi-pribadi yang memesona, karena mereka sangat pede dan merasa nyaman dengan segala yang mereka miliki, termasuk bentuk tubuhnya.
Ingin cantik memang manusiawi, tapi tidak pede dan selalu merasa kekurangan, jelas berlebihan. Dan celakanya, jutsru itulah yang kurang disadari kaum perempuan di Indonesia. Benarkah? Dalam penelitian di atas memang ditemukan bahwa hanya 1 persen wanita Indonesia yang merasa dirinya cantik. Apa boleh buat! (Burhanuddin Abe)
Orang menyebut mereka METROSEKSUAL
Orang menyebut mereka pria metroseksual. Pria-pria dandy yang menikmati hidup (mewah), gemar ke mal dan kafe, rajin ke gym membentuk tubuh, merawat diri di salon dan spa, berburu fashion dan aksesori bermerek, tapi tidak jarang yang sampai kebablasan. Fenomena ini ditulis oleh Burhanuddin Abe.
Metroseksual. Kosa kata baru ini seolah menyihir para pria metropolitan saat ini. Setelah pemain sepekbola tersohor David Beckham bergaya dan berdandan necis, pria-pria “genit” di seluruha dunia seolah tidak mau ketinggalan. Pria urban jenis baru ini memuja gaya hidup hedonisme, tampil trendi, dan selalu mengikuti tren global. Parfum, busana, aksesori bermerek ternama yang dulunya hanya menjadi incaran wanita, kini tidak diharamkan menempel di tubuh pria metroseksual.
Sebetulnya, evolusi tren gaya pria bisa dilacak melalui film-film James Bond. Di era 1970-an, pria ideal digambarkan seperti Sean Connery yang macho, dengan rahang keras dan berewokan. Di era berikutnya agen rahasia Inggris sang jagoan tampil lebih lembut dan necis, diwakili oleh Roger Moore dan Timothy Dalton. Nah, memasuki dekade 1990-an, agen 007 ini berubah menjadi sangat dandy, semakin stylish dengan busana dan aksesoris yang branded, rambutnya pun sangat kelimis. Konon, Piere Brosnan – yang mewakili era ini – inilah yang disebut sebagai cikal bakal pria metroseksual. Tapi yang jelas, istilah metroseksual, yang diperkenalkan Mark Simpson, kolomnis fashion Inggris, pada 1994 untuk menggambarkan kelompok anak muda berkocek tebal yang hidup di kota besar, sangat menyayangi bahkan cenderung narsistik, serta sangat tertarik pada fashion dan perawatan tubuhnya, mulai merebak tidak hanya di Eropa tapi juga di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Tren ini katanya hanya menjangkiti para model, artis dan orang-orang media. Tapi belakangan justru meluas ke kalangan olahragawan, profesional muda, pengacara, bahkan diplomat! Majalah The Economist bahkan pernah mengungkapkan bahwa di AS jumlah kaum metroseksual mencapai 30%-35%. Mayoritas dari mereka adalah pekerja profesional dan eksekutif muda. Mereka mengagumi George Soros tapi juga tergila-gila pada Chaterine Zetta Jones. Suka nongkrong di kafe, menikmati kehidupan malam, tapi sekaligus peduli kesehatan, dan memakai krim malam sebelum tidur.
Tidak ada yang salah sih, bahkan revolusi ini seakan-akan mendobrak tradisi berpakaian para pria yang cenderung konservatif. Kesehatan pun mulai diperhatikan. Yang juga bergembira dengan fenomena ini adalah para pemasar, paling tidak desainer pakaian pria akan mempunyai pasar yang lebih besar. perusahaan-perusahaan kosmetik menemukan pelanggan barunya. Bahkan Jean Paul Gaultier, misalnya, berani meluncurkan kosmetik khusus untuk pria. Tidak hanya lip balm untuk pria, tapi juga bedak, cat kuku, serta pinsil untuk alis dan garis mata. Wah!
Kalau di deretan pesohor dunia ada David Beckham, Brad Pitt, George Clooney, Antonio Banderas, Ian Thorpe, Tom Cruz, dan masih banyak lagi. Di Indonesia punya Fery Salim, Ari Wibowo, Nicholas Saputra, Jeremy Thomas dan Adjie Massaid. Memang, mereka semua adalah bagian dari kalangan selebriti yang memang harus selalu tampil menawan dan selalu mengikuti fashion.
Tapi kalau yang mengikuti mereka kemudian adalah “orang-orang biasa”, sebutlah orang-orang kantoran yang kerjanya di bidang finansial atau teknik, atau jauh dari dunia kreatif atau keartisan, tentu menjadi pertanyaan besar, apa sebanarnya yang mereka cari. Apa jadinya kalau pegawai bank harus mengecat rambutnya menjadi pirang atau hi light warna tertentu, serta mengecat kukunya seperti suami Victoria Posh itu.
Mengikuti gaya metroseksual sebenarnya boleh-boleh saja, tapi kalau tidak sesuai dengan kepribadian tentu menimbulkan persoalan tersendiri. Sama dengan orang yang pergi ke pesta tapi salah dress code-nya. Kalau sekadar wangi dan berkesan lebih macho tentu bukan problem, tapi kalau kelihatan justru lebih kemayu dan kewanita-wanitaan, bukan metroseksual lagi, meski pun itu hak asasi. Apa boleh buat, batas gender antara pria dan wanita memang kian kabur. Pria bukan lagi dari Mars, dan wanita pun tak selalu dari Venus. (Majalah Her World)
Metroseksual. Kosa kata baru ini seolah menyihir para pria metropolitan saat ini. Setelah pemain sepekbola tersohor David Beckham bergaya dan berdandan necis, pria-pria “genit” di seluruha dunia seolah tidak mau ketinggalan. Pria urban jenis baru ini memuja gaya hidup hedonisme, tampil trendi, dan selalu mengikuti tren global. Parfum, busana, aksesori bermerek ternama yang dulunya hanya menjadi incaran wanita, kini tidak diharamkan menempel di tubuh pria metroseksual.
Sebetulnya, evolusi tren gaya pria bisa dilacak melalui film-film James Bond. Di era 1970-an, pria ideal digambarkan seperti Sean Connery yang macho, dengan rahang keras dan berewokan. Di era berikutnya agen rahasia Inggris sang jagoan tampil lebih lembut dan necis, diwakili oleh Roger Moore dan Timothy Dalton. Nah, memasuki dekade 1990-an, agen 007 ini berubah menjadi sangat dandy, semakin stylish dengan busana dan aksesoris yang branded, rambutnya pun sangat kelimis. Konon, Piere Brosnan – yang mewakili era ini – inilah yang disebut sebagai cikal bakal pria metroseksual. Tapi yang jelas, istilah metroseksual, yang diperkenalkan Mark Simpson, kolomnis fashion Inggris, pada 1994 untuk menggambarkan kelompok anak muda berkocek tebal yang hidup di kota besar, sangat menyayangi bahkan cenderung narsistik, serta sangat tertarik pada fashion dan perawatan tubuhnya, mulai merebak tidak hanya di Eropa tapi juga di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Tren ini katanya hanya menjangkiti para model, artis dan orang-orang media. Tapi belakangan justru meluas ke kalangan olahragawan, profesional muda, pengacara, bahkan diplomat! Majalah The Economist bahkan pernah mengungkapkan bahwa di AS jumlah kaum metroseksual mencapai 30%-35%. Mayoritas dari mereka adalah pekerja profesional dan eksekutif muda. Mereka mengagumi George Soros tapi juga tergila-gila pada Chaterine Zetta Jones. Suka nongkrong di kafe, menikmati kehidupan malam, tapi sekaligus peduli kesehatan, dan memakai krim malam sebelum tidur.
Tidak ada yang salah sih, bahkan revolusi ini seakan-akan mendobrak tradisi berpakaian para pria yang cenderung konservatif. Kesehatan pun mulai diperhatikan. Yang juga bergembira dengan fenomena ini adalah para pemasar, paling tidak desainer pakaian pria akan mempunyai pasar yang lebih besar. perusahaan-perusahaan kosmetik menemukan pelanggan barunya. Bahkan Jean Paul Gaultier, misalnya, berani meluncurkan kosmetik khusus untuk pria. Tidak hanya lip balm untuk pria, tapi juga bedak, cat kuku, serta pinsil untuk alis dan garis mata. Wah!
Kalau di deretan pesohor dunia ada David Beckham, Brad Pitt, George Clooney, Antonio Banderas, Ian Thorpe, Tom Cruz, dan masih banyak lagi. Di Indonesia punya Fery Salim, Ari Wibowo, Nicholas Saputra, Jeremy Thomas dan Adjie Massaid. Memang, mereka semua adalah bagian dari kalangan selebriti yang memang harus selalu tampil menawan dan selalu mengikuti fashion.
Tapi kalau yang mengikuti mereka kemudian adalah “orang-orang biasa”, sebutlah orang-orang kantoran yang kerjanya di bidang finansial atau teknik, atau jauh dari dunia kreatif atau keartisan, tentu menjadi pertanyaan besar, apa sebanarnya yang mereka cari. Apa jadinya kalau pegawai bank harus mengecat rambutnya menjadi pirang atau hi light warna tertentu, serta mengecat kukunya seperti suami Victoria Posh itu.
Mengikuti gaya metroseksual sebenarnya boleh-boleh saja, tapi kalau tidak sesuai dengan kepribadian tentu menimbulkan persoalan tersendiri. Sama dengan orang yang pergi ke pesta tapi salah dress code-nya. Kalau sekadar wangi dan berkesan lebih macho tentu bukan problem, tapi kalau kelihatan justru lebih kemayu dan kewanita-wanitaan, bukan metroseksual lagi, meski pun itu hak asasi. Apa boleh buat, batas gender antara pria dan wanita memang kian kabur. Pria bukan lagi dari Mars, dan wanita pun tak selalu dari Venus. (Majalah Her World)
Kemajuan istri, dorongan suami
Kata orang, suami berperan penting bagi karier isteri. Tapi sampai batas mana perempuan boleh berkarier? Benarkah isteri yang terlalu maju, merupakan “ancaman” bagi suami? Ditulis oleh Burhanuddin Abe.
Beberapa waktu yang lalu secara tidak sengaja saya nonton sebuah talkshow di TV. Temanya “perempuan dan karier”. Memang tema klise sih, dan terkesan jadul (jaman dulu), seolah-olah hidup kita hidup pada jaman Siti Nurbaya, yang kaum perempuannya tidak bisa memilih dan menentukan sendiri jalan hidupnya. Tapi berhubung dipandu oleh host yang cantik dengan seorang bintang tamu selebriti yang juga cantik, mata saya tertahan dan tidak jadi memencet remote control, pindah ke channel lain.
Ada juga pembicara lain, seorang pria eksekutif muda, bapak dari dua orang anak, yang tergolong sukses. Juga serta seorang pengamat, tepatnya, perempuan aktivis dari YLBHI yang baisa memberikan bantuan hukum kepada kaum perempuan yang bermasalah, baik dalam lingkungan pekerjaannya maupun dalam rumah tangga.
Pembicaraan tersebut tergolong lancar, bahkan tidak ada gejolak-gejolaknya. Jayus banget, istilahnya masa kini! Tidak seperti acara talk show dari luar sono yang dipandu Oprah Winfrey, apalagi Ricky Lake yang selalu seru, bahkan kadang-kadang tidak jarang terlontar umpatan kasar dari para pembicara. Apakah karena orang Indonesia orang-orangnya kurang ekspresif dalam mengungkapkan perasaannya, atau bahkan pandangan orang bule kita budaya Timur terkesan introvert, sehingga acara yang saya saksikan tersebut rada monoton, jauh dari konsep modern tontonan talk show masa kini.
Itu sebabnya, tidak semua pembicaraan bisa menancap di benak saya dengan baik. Tidak ada pertentangan yang berarti. Hampir semua pembicara sepakat, tidak ada perdebatan, bahwa perempuan berkarier itu wajar dalam jaman modern seperti ini, bahkan ketika ia sudah berstatus menjadi isteri. Saya cuma menggarisbawahi ketika sang pria berpendapat, kira-kira begini, “Isteri saya adalah seorang ibu rumah tangga, tapi saya memberikan kebebasan kepada dia kalau dia ingin bekerja.”
Tidak ada yang salah, seorang perempuan memang tidak harus bekerja, tapi juga punya hak untuk menjadi ibu rumah tangga saja – yang menurut saya tidak kalah mulianya dengan pekerjaan publik. Tapi kalimat suami tersebut bahwa akan “memberikan kebebasan” kepada isteri, justru menerbitkan tanda tanya bagi saya. Bukankah kebebasan itu milik semua orang? Sejak kapan kebebasan hanya monopoli suami, dan isteri hanya mendapatkan kebebasan jika diberi izin oleh suami?
Pendapat tersebut memang sering disuarakan oleh kaum feminis, dan saya hanya mengiminya saja. Apalagi, saya termasuk suami yang sangat mendukung kemajuan isteri. Cielah! Saya bukan tipe suami yang takut jika karier isteri melesat, bahkan jauh melebihi suami. Bukankah sejauh-jauh bangau terbang, pulangnya ke kubangan juga. Emang nggak nyambung!
Yang jelas, setelah isteri saya agak lama vakum, sayalah yang mendorongnya untuk bekerja kembali. Sama sekali bukan karena merendahkan pekerjaannya sebagai isteri dan pengasuh anak, tapi perempuran harus mempunyai kegiatan yang positif di luar rumah. Dengan demikian wawasannya menjadi luas, juga mempunyai angle yang juga positif dalam memandang dunia. Tidak hanya berkutat di rumah, nonton TV, mengasuh anak, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang melekat pada perempuan, sebutlah memasak, mencuci, menyetrika. Padahal pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “perempuan” seperti itu menurut saya adalah tanggung jawab bersama, tidak berdasarkan gender. Bahwa pekerjaan tersebut diberikan kepada baby sitter dan pembantu rumah tangga, karena kita tidak bisa mengerjakannya sendiri, itu soal lain.
Pernikahan itu menurut saya semacam kontrak sosial, perjanjian antara suami dan isteri yang mengikatkan diri dalam sebuah ikatan rumah tangga. Suami dan isteri tidak harus melebur menjadi satu, tapi masing-masing individu mempunyai kehidupan pribadi sendiri-sendiri. Masing-masing mempunyai kesenangan sendiri, hobi, temen-teman, network, pendeknya masing-masing individu harus berkembang. Tidak hanya suami, isteri pun berhak untuk mempunyai kegiatan sendiri di luar rumah.
Saya mendorong isteri bekerja, sama sekali bukan karena masalah uang. Bahwa ternyata ada tambahan penghasilan rumah tangga, itu hanya efeknya saja. Sebab menurut saya isteri tidak mempunyai kewajiban untuk bekerja, juga tidak mempunyai kewajiban untuk menafkahi keluarga. Sebaliknya, justru suamilah yang berkewajiban dan menafkahi keluarga. So, saya tidak terlalu peduli berapa gaji yang diterima oleh isteri saya, saya hanya peduli bahwa setiap bulan saya harus memberikan uang belanja kepada keluarga.
Hari gini, pandangan seperti itu memang tidak istimewa. Tapi anehnya saya masih sering saya menjumpai suami-suami yang konservatif, yang melarang isterinya bekerja. “Saya ingin isteri saya di rumah, sebab anak-anak kami masih kecil, balita. Saya tidak ingin mereka diawasi oleh baby sitter,”kata seorang teman. Alasan yang bisa dipertanggungjawabkan sebetulnya. Tapi kalau ketakutannya tidak ingin disaingi oleh kemajuan sang isteri, jelas tidak masuk akal.
Saya justru kagum dengan Ikang Fawzy yang mendukung Marissa Haque seorang prouduser dan anggota DPR RI, HAR Tilaar yang menjadikan Martha Tilaar sebagai pengusaha kosmetik tradisional Indonesia yang dikenal dunia, Adam Suseno yang memanajeri Inul Daratista sebagai “Ratu Ngebor” yang go international, Teuku Rafli yang memberi support Tamara Blezinsky sebagai bintang iklan dan artis sinetron yang sukses, meski akhirnya mereka bercerai. Saya kagum dengan suami-suami yang mendorong maju karier isterinya setinggi-tingginya. (Majalah Her World, 2005)
Beberapa waktu yang lalu secara tidak sengaja saya nonton sebuah talkshow di TV. Temanya “perempuan dan karier”. Memang tema klise sih, dan terkesan jadul (jaman dulu), seolah-olah hidup kita hidup pada jaman Siti Nurbaya, yang kaum perempuannya tidak bisa memilih dan menentukan sendiri jalan hidupnya. Tapi berhubung dipandu oleh host yang cantik dengan seorang bintang tamu selebriti yang juga cantik, mata saya tertahan dan tidak jadi memencet remote control, pindah ke channel lain.
Ada juga pembicara lain, seorang pria eksekutif muda, bapak dari dua orang anak, yang tergolong sukses. Juga serta seorang pengamat, tepatnya, perempuan aktivis dari YLBHI yang baisa memberikan bantuan hukum kepada kaum perempuan yang bermasalah, baik dalam lingkungan pekerjaannya maupun dalam rumah tangga.
Pembicaraan tersebut tergolong lancar, bahkan tidak ada gejolak-gejolaknya. Jayus banget, istilahnya masa kini! Tidak seperti acara talk show dari luar sono yang dipandu Oprah Winfrey, apalagi Ricky Lake yang selalu seru, bahkan kadang-kadang tidak jarang terlontar umpatan kasar dari para pembicara. Apakah karena orang Indonesia orang-orangnya kurang ekspresif dalam mengungkapkan perasaannya, atau bahkan pandangan orang bule kita budaya Timur terkesan introvert, sehingga acara yang saya saksikan tersebut rada monoton, jauh dari konsep modern tontonan talk show masa kini.
Itu sebabnya, tidak semua pembicaraan bisa menancap di benak saya dengan baik. Tidak ada pertentangan yang berarti. Hampir semua pembicara sepakat, tidak ada perdebatan, bahwa perempuan berkarier itu wajar dalam jaman modern seperti ini, bahkan ketika ia sudah berstatus menjadi isteri. Saya cuma menggarisbawahi ketika sang pria berpendapat, kira-kira begini, “Isteri saya adalah seorang ibu rumah tangga, tapi saya memberikan kebebasan kepada dia kalau dia ingin bekerja.”
Tidak ada yang salah, seorang perempuan memang tidak harus bekerja, tapi juga punya hak untuk menjadi ibu rumah tangga saja – yang menurut saya tidak kalah mulianya dengan pekerjaan publik. Tapi kalimat suami tersebut bahwa akan “memberikan kebebasan” kepada isteri, justru menerbitkan tanda tanya bagi saya. Bukankah kebebasan itu milik semua orang? Sejak kapan kebebasan hanya monopoli suami, dan isteri hanya mendapatkan kebebasan jika diberi izin oleh suami?
Pendapat tersebut memang sering disuarakan oleh kaum feminis, dan saya hanya mengiminya saja. Apalagi, saya termasuk suami yang sangat mendukung kemajuan isteri. Cielah! Saya bukan tipe suami yang takut jika karier isteri melesat, bahkan jauh melebihi suami. Bukankah sejauh-jauh bangau terbang, pulangnya ke kubangan juga. Emang nggak nyambung!
Yang jelas, setelah isteri saya agak lama vakum, sayalah yang mendorongnya untuk bekerja kembali. Sama sekali bukan karena merendahkan pekerjaannya sebagai isteri dan pengasuh anak, tapi perempuran harus mempunyai kegiatan yang positif di luar rumah. Dengan demikian wawasannya menjadi luas, juga mempunyai angle yang juga positif dalam memandang dunia. Tidak hanya berkutat di rumah, nonton TV, mengasuh anak, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang melekat pada perempuan, sebutlah memasak, mencuci, menyetrika. Padahal pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “perempuan” seperti itu menurut saya adalah tanggung jawab bersama, tidak berdasarkan gender. Bahwa pekerjaan tersebut diberikan kepada baby sitter dan pembantu rumah tangga, karena kita tidak bisa mengerjakannya sendiri, itu soal lain.
Pernikahan itu menurut saya semacam kontrak sosial, perjanjian antara suami dan isteri yang mengikatkan diri dalam sebuah ikatan rumah tangga. Suami dan isteri tidak harus melebur menjadi satu, tapi masing-masing individu mempunyai kehidupan pribadi sendiri-sendiri. Masing-masing mempunyai kesenangan sendiri, hobi, temen-teman, network, pendeknya masing-masing individu harus berkembang. Tidak hanya suami, isteri pun berhak untuk mempunyai kegiatan sendiri di luar rumah.
Saya mendorong isteri bekerja, sama sekali bukan karena masalah uang. Bahwa ternyata ada tambahan penghasilan rumah tangga, itu hanya efeknya saja. Sebab menurut saya isteri tidak mempunyai kewajiban untuk bekerja, juga tidak mempunyai kewajiban untuk menafkahi keluarga. Sebaliknya, justru suamilah yang berkewajiban dan menafkahi keluarga. So, saya tidak terlalu peduli berapa gaji yang diterima oleh isteri saya, saya hanya peduli bahwa setiap bulan saya harus memberikan uang belanja kepada keluarga.
Hari gini, pandangan seperti itu memang tidak istimewa. Tapi anehnya saya masih sering saya menjumpai suami-suami yang konservatif, yang melarang isterinya bekerja. “Saya ingin isteri saya di rumah, sebab anak-anak kami masih kecil, balita. Saya tidak ingin mereka diawasi oleh baby sitter,”kata seorang teman. Alasan yang bisa dipertanggungjawabkan sebetulnya. Tapi kalau ketakutannya tidak ingin disaingi oleh kemajuan sang isteri, jelas tidak masuk akal.
Saya justru kagum dengan Ikang Fawzy yang mendukung Marissa Haque seorang prouduser dan anggota DPR RI, HAR Tilaar yang menjadikan Martha Tilaar sebagai pengusaha kosmetik tradisional Indonesia yang dikenal dunia, Adam Suseno yang memanajeri Inul Daratista sebagai “Ratu Ngebor” yang go international, Teuku Rafli yang memberi support Tamara Blezinsky sebagai bintang iklan dan artis sinetron yang sukses, meski akhirnya mereka bercerai. Saya kagum dengan suami-suami yang mendorong maju karier isterinya setinggi-tingginya. (Majalah Her World, 2005)
Thursday, September 3, 2009
Gempa 2 September 2009
Lihat jam, udah jam 3 nih, bu susanny lama amat belum kelar-kelar, kek na masih mo lanjut materi baru neh, mungkin gara2 minggu kemaren ga masuk, jadi mo di full-in, gapapa dah..
tiba-tiba..
kok kaki gue goyang yah?
kok goyang yah.....
kek na gue doang deh yang pusing..
loh kok kursi na goyang..
loh kok proyektor juga ikutan goyang
loh kok teman gue berdiri
loh kok dosennya treak gempa
loh kok??? terlalu banyak pertanyaan di kepala
tiba2 udah ada yang keluar bawa tas..
bu susanny ngomong, jangan pada panik yah..!
*setelah diselidiki, ternyata yang udah lari duluan adalah..
GAFAR TAN
kemudian apa yang terjadi???
kembali ke kasus gue deh..
langsung tereak!
woooi laptop gue! *segera melihat laptop dibangku paling samping
wakkakaka..
tarik laptop, pegang ditangan kanan, tas ditangan kiri
keluar pintu liat orang lari2 rame, desak2an di pintu yang lebarnya cuma 50cm
trus udah melewatin tuh pintu, mo menuju tangga..
*tapi dipikiran... eh ga jadi deh balik lagi..
eh balik lagi ke pintu tersebut dengan berteriak..
WOOOOI!!!! pintunya dibuka dulu kali biar orang bisa lari cepet, jangan desak2an..
alhasil karena gue ga nyampe so cuma bisa tereak
*bingung juga kenapa gue malah balik suruh orang buka pintu daripada tereak2an daripada langsung ngungsiin diri turun ke lantai 1, padahal masih dilantai 9 dan goyang dengan kerasnya, gedung bunyi2...
wakkakkakaka
akhirnya nyampe lantai 7, ngeliatin orang rame2..
masih goyang2.., rencana ga mo turun sih, tapi disuruh turun ama orang fakultas pake toak, takut ada gempa susulan..
turun lagi deh ke lantai 1
wkakakkakaka
trus abis keluar heboh deh..... liatin temen2 udah dibawah..
eh kalo gempa susulan kita mo sembunyi dimana say?
semuanya gedung tinggi, kalo oleng juga pasti kena, ga guna sih sebenarnya kita lari..
trus jalan2 deh cari tempat aman..
ternyata oh ternyata!!!
GA ADA tempat aman!
semuanya dikelilingi gedung beberapa lantai, kalo gedungnya roboh pasti kena! wkakakakaka
tempat paling aman taman ga jadi2 yang deket gedung teknik, n psikologi.. hahahha..
akhirnya memutuskan diri duduk di depan gedung M yang rame banget, sambil ngeliatin orang tunjuk2 gedung Teknik miring, padahal sih sebenarnya yah gitu2 aja kok....
kalo diperhatiin agak miring sih, apa efek perspektif karena dua gedung yang berbeda tingginya yang mengapit gedung FT itu? hahahhahaa..
pada nunjuk2 dan foto tuh gedung..
tapi biarlah, dee dew step malah nunjuk2 liatin orang di gedung utama yang lagi masangin kaca
wakkakkakakaka..
tiba-tiba..
kok kaki gue goyang yah?
kok goyang yah.....
kek na gue doang deh yang pusing..
loh kok kursi na goyang..
loh kok proyektor juga ikutan goyang
loh kok teman gue berdiri
loh kok dosennya treak gempa
loh kok??? terlalu banyak pertanyaan di kepala
tiba2 udah ada yang keluar bawa tas..
bu susanny ngomong, jangan pada panik yah..!
*setelah diselidiki, ternyata yang udah lari duluan adalah..
GAFAR TAN
kemudian apa yang terjadi???
kembali ke kasus gue deh..
langsung tereak!
woooi laptop gue! *segera melihat laptop dibangku paling samping
wakkakaka..
tarik laptop, pegang ditangan kanan, tas ditangan kiri
keluar pintu liat orang lari2 rame, desak2an di pintu yang lebarnya cuma 50cm
trus udah melewatin tuh pintu, mo menuju tangga..
*tapi dipikiran... eh ga jadi deh balik lagi..
eh balik lagi ke pintu tersebut dengan berteriak..
WOOOOI!!!! pintunya dibuka dulu kali biar orang bisa lari cepet, jangan desak2an..
alhasil karena gue ga nyampe so cuma bisa tereak
*bingung juga kenapa gue malah balik suruh orang buka pintu daripada tereak2an daripada langsung ngungsiin diri turun ke lantai 1, padahal masih dilantai 9 dan goyang dengan kerasnya, gedung bunyi2...
wakkakkakaka
akhirnya nyampe lantai 7, ngeliatin orang rame2..
masih goyang2.., rencana ga mo turun sih, tapi disuruh turun ama orang fakultas pake toak, takut ada gempa susulan..
turun lagi deh ke lantai 1
wkakakkakaka
trus abis keluar heboh deh..... liatin temen2 udah dibawah..
eh kalo gempa susulan kita mo sembunyi dimana say?
semuanya gedung tinggi, kalo oleng juga pasti kena, ga guna sih sebenarnya kita lari..
trus jalan2 deh cari tempat aman..
ternyata oh ternyata!!!
GA ADA tempat aman!
semuanya dikelilingi gedung beberapa lantai, kalo gedungnya roboh pasti kena! wkakakakaka
tempat paling aman taman ga jadi2 yang deket gedung teknik, n psikologi.. hahahha..
akhirnya memutuskan diri duduk di depan gedung M yang rame banget, sambil ngeliatin orang tunjuk2 gedung Teknik miring, padahal sih sebenarnya yah gitu2 aja kok....
kalo diperhatiin agak miring sih, apa efek perspektif karena dua gedung yang berbeda tingginya yang mengapit gedung FT itu? hahahhahaa..
pada nunjuk2 dan foto tuh gedung..
tapi biarlah, dee dew step malah nunjuk2 liatin orang di gedung utama yang lagi masangin kaca
wakkakkakakaka..
Subscribe to:
Posts (Atom)